POLITIK ANTARA DAS SEIN DAN DAS SOLLEN
Oleh: MUH.UMAR KUSUMA.,SH
Kata
“politik” berasal dari bahasa Yunani “polis”, berarti kota. Dalam konteks
Yunani Kuno saat itu, kota itulah negara. Wilayah negara tidak terlalu luas dan
penduduknya hanya puluhan ribu.
Karena
itu, polisdi Yunani Kuno dikonsepsikan sebagai “negarakota” (city state).
Karena itu pula, politik dipahami sebagai segala daya upaya untuk menata kota
(baca: negara). Jelas sekali bahwa politik berkonotasi positif untuk
menciptakan kebaikan bersama. Negara menjadi sarana untuk menciptakan
kebijakan-kebijakan politik untuk mengatur atau mengelola negara sehingga
kebaikan bersama bisa terwujud.
Namun,
kata “politik” kemudian mengalami pergeseran semantik sehingga menjadi
berkonotasi negatif. Pergeseran ini terjadi karena politik yang seharusnya
diselenggarakan oleh para filsuf, karena merekalah yang memiliki perspektif
komprehensif untuk membangun negara, tetapi kenyataannya seringkali justru
dikuasai oleh orang-orang dengan kualitas medioker, bahkan lebih rendah lagi, hanya
karena mereka memiliki popularitas dan elektabilitas tinggi dalam masyarakat
yang memiliki hak pilih.
Di
antara mereka adalah para badut, yang sama sekali tidak memiliki rekam jejak
dalam politik, tetapi menjadi sangat populer karena sering melakukan pertunjukan
keliling kampung. Saat ini popularitas itu juga dimiliki para badut dalam arti
yang sesungguhnya melalui media-media infotainment. Juga oleh politisi
medioker dengan kualifikasi badut tanpa rekam jejak dalam dunia politik
tersebut melalui iklan politik yang masif dan gencar di berbagai media. Mereka
pun menjadi badut karena dalam iklan politik tersebut menampilkan diri sebagai
yang bukan karakter sendiri. Dari sini kekuasaan politik kemudian mengalami
degradasi fungsi karena berada di tangan orangorang yang tidak memiliki
kualifikasi memadai untuk mengelola dan menata negara. Selain itu, kata
politik, oleh sebagian besar orang, terutama di Indonesia, kemudian dipahami
secara salah karena dianggap merupakan gabungan dua kata “poli” yang berarti banyak
dan “tik” yang diartikan sebagai taktik.
Definisi
keliru ini bisa dikatakan terjadi karena dugaan saja sebab kemiripan
pengucapan. Inilah yang menjadi awal mula pandangan keliru bahwa politik adalah
banyak taktik. Pemahaman ini semakin memperkuat definisi pemikir politik Barat,
di antaranya Lasswell, yang mengatakan bahwa politik sekadar sebagai siapa
mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana (who gets what, when, and how).
Tidak pernah terpikir pertanyaan “mengapa” mesti berpolitik. Ketiadaan pertanyaan “mengapa” itulah yang menyebabkan kekuasaan politik menjadi citacita. Jabatan kemudian menjadi tujuan akhir dalam aktivitas politik. Padahal kekuasaan yang merupakan implikasi dari jabatan sesungguhnya sarana untuk menjawab mengapa kekuasaan mesti diperebutkan dalam mekanisme politik yang kompetitif. Atau kalau toh muncul pertanyaan mengapa mesti berpolitik, jawabannya adalah orientasi material yang disebabkan kedangkalan cara berpikir. Itu terjadi karena politik telah dikuasai oleh kalangan medioker yang tidak terbiasa berpikir mendalam. Mereka hanya ingin mengubah kehidupan sendiri dan keluarga, dan paling luas adalah kelompok sendiri, menjadi lebih baik dengan kekayaan material yang bisa didapatkan lebih mudah dengan menggunakan kekuasaan politik.
Tidak pernah terpikir pertanyaan “mengapa” mesti berpolitik. Ketiadaan pertanyaan “mengapa” itulah yang menyebabkan kekuasaan politik menjadi citacita. Jabatan kemudian menjadi tujuan akhir dalam aktivitas politik. Padahal kekuasaan yang merupakan implikasi dari jabatan sesungguhnya sarana untuk menjawab mengapa kekuasaan mesti diperebutkan dalam mekanisme politik yang kompetitif. Atau kalau toh muncul pertanyaan mengapa mesti berpolitik, jawabannya adalah orientasi material yang disebabkan kedangkalan cara berpikir. Itu terjadi karena politik telah dikuasai oleh kalangan medioker yang tidak terbiasa berpikir mendalam. Mereka hanya ingin mengubah kehidupan sendiri dan keluarga, dan paling luas adalah kelompok sendiri, menjadi lebih baik dengan kekayaan material yang bisa didapatkan lebih mudah dengan menggunakan kekuasaan politik.
Inilah
yang menyebabkan politik yang seharusnya (das sollen) menjadi sarana
untuk menciptakan kebaikan dan perbaikan negara, dalam kenyataannya (das
sein) justru menjadi sarana penyebab kedestruktifan. Kekuasaan politik
seringkali justru dijadikan sebagai sarana untuk menindas dan menghisap darah
rakyat. Das sollen dan das sein politik
sangat ditentukan oleh siapa yang menjadi politisi.
Jika
politisinya baik, das sollen politik tercapai. Dengan kata lain, terjadi
kesesuaian antara das sollen dan das sein politik. Hanya
ketika das sollen dengan das sein bersesuaianlah
negara bisa menjadi sarana untuk menciptakan kebaikan bersama. Makin tidak
berkualitas politisi, kesenjangan antara das sollen dan das
sein politik akan menjadi semakin jauh. Politik sesungguhnya ekspresi
cinta. Politik orang baik terekspresi menjadi cinta kepada umat manusia.
Politik
orang jahat terekspresi menjadi cinta kepada harta. Yang pertama melahirkan
perbaikanperbaikan dalam konteks negara maupun masyarakat. Sedangkan yang kedua
menimbulkan berbagai kerusakan kepada keduanya. Praktik korupsi terjadi karena
kecintaan kepada harta kekayaan material. Kekuasaan politik yang melahirkan
berbagai kewenangan digunakan sebagai sarana untuk mengumpulkan harta kekayaan
negara demi memenuhi kerakusan diri sendiri.
Akumulasi
materi yang didapatkan dengan menggunakan kekuasaan kemudian digunakan untuk
memperbesar kekuasaan dan kekuasaan yang lebih besar itu digunakan untuk
mengakumulasi materi. Demikian seterusnya tanpa batas atau sampai ada sebuah
gerakan revolusioner yang mampu menghentikannya.
Karena
kenyataan politik yang buruk tersebut, diperlukan politisi yang baik dengan
jumlah yang cukup untuk mewujudkan cita-cita politik karena politik merupakan
sarana utama dan sangat signifikan untuk menata negara. Bukanlah orang baik
dalam arti sesungguhnya apabila belum membuktikan diri sebagai pribadi yang
memiliki daya tahan dalam menjalankan kekuasaan dengan berbagai kewenangan yang
besar dari berbagai godaan material.
Orang baik yang
sebenarnya adalah orang yang tetap menjadi baik ketika memiliki kekuasaan besar
dan memiliki kesempatan untuk menyelewengkannya. Sedangkan mereka yang
menyeleweng ketika memiliki kekuasaan sejatinya adalah orang jahat. Kebaikan
yang tampak dalam waktu sebelum memiliki kekuasaan sesungguhnya hanya karena
tidak memiliki kesempatan. Wallahu a’lam bi al-shawab. ●