Aladzani Media Adalah Kumpulan Berita-Berita Dan Iklan Yang Aktual Dan Kontibel Untuk Pemirsa
Thursday, August 28, 2014
Cerita Pendek 11 : 11 PM
11:11 PM
Denting
jam ditembok, seolah seperti sebuah simphony yang memekakan telinga, dan
mengiris ulu hati. Alunan pilu not-not yang entah dari mana sumbernya, merangkai menjadi alunan dentingan yang
syahdu. Teriris.
Dentingan
yang tidak biasa yang pernah aku dengar. Jam dinding itu selalu berdenting di
putaran-putarannya dan selalu sama. Tapi, tepat pukul 11: 11, dentingannya
sangat lembut, lebih lama, dan selalu berhasil membuat bulu kudukku berdiri
tiap kali aku mendengarnya.Mungkin saja kalau jam dinding itu bisa bicara,dia
ingin sekali mengatakan sesuatu kepada setiap seseorang yang melewatinya,
tapi....jam dinding hanyalah jam dinding, dia benda mati dan tak akan bisa
berkata.......
Jam
dinding itu menempel di dinding diantara rak-rak buku milik omaku, jam dinding
yang selalu menyita perhatianku tiap kali aku berada di ruangan baca itu.
Karena bentuknya yang unik, terkesan klasik, dan usianya melebihi usia anak
sulung omaku- itu lebih dari 45 tahun lalu-serta karena suara dentingan yang
tidak biasa.
Setelah
sekitar 10 jam perjalanan, akhirnya siang itu, aku dan kedua orang tuaku tiba
di kediaman omaku. Semenjak opah meninggal beliau hanya tinggal sendiri di
rumah yang cukup besar itu, dan hanya ditemanin beberapa pembantu dan sopir
yang bekerja paruh waktu.
Kulitnya
yang keriput, rambutnya yang memutih, badannya yang tak lagi tegap ketika
berdiri, selalu menyambut setiap orang yang mampir di rumah itu dengan
hangatnya, menyiapkan semuanya sendiri, detail. Sampai handuk mandi untuk para
tamunya beliau siapkan juga. Mentari
yang bersinar sangat terik di hari itu membuatku enggan untuk berkeliling
jalan-jalan ke kebun bunya milik omaku. Padahal dulu aku suka sekali beramain
di sana ketika aku kecil kata oma, entahlah kapan waktu itu ,bahkan aku tidak
ingat jika aku pernah suka bermain di kebun bunga oma.
Aku
berjalan meninggalkan ruang keluarga dan menuju tempat istirahatku yang sudah
disipakan oleh oma, tapi langkahku terhenti di ruang baca. Keinginanku untuk
bersantai di kamar seolah terkalahkan oleh ketertarikanku untuk berdiam di
ruang baca. Ruang baca itu selalu tertata rapi persis seperti terakhir kali aku
ke tempat ini, setahun lalu. Entah kenapa aku suka sekali berada di ruangan
ini, mungkin karena nyaman, bersih dan pasti banyak buku-buku langka di sini. Jane
Austin, Mary Shelley, Sir Walter Scott, Robert Shouthey, William Blake, dan
William Shakespeare dengan master piecenya “Romeo & Juliet”, telah
menjadi penghuni di ruang baca ini sejak bertahun-tahun lalu.
Semua
koleksi buku-buku yang ada di ruang baca ini adalah milik Opa. Sering kali Opa
menghabiskan waktunya di ruangan ini – kata Oma. Sayangnya, aku belum sempat
bertemu dengan Opa, beliau meninggal tepat 7 hari sebelum aku lahir. Aku hanya
melihat wajah Opa dalam foto keluarga yang dipajang Oma di ruang keluarga. Tapi
kata ayah, aku mirip Opa, bukan wajahnya melainkan cara berpikirnya,
tingkahlakunya, celetukku yang spontan dan sering kali mengingatkan ayah kepada
Opa.
Aku
mulai asik memilih-milih buku untuk aku baca nantinya, tapi ketika tanganku
asik bermain diantara buku-buku, ekor mataku melihat suatu benda tergeletak di
atas meja di pojok ruangan. Itu seperti sebuah photo album. Aku menghentikan
aktifitasku dengan buku-buku di rak lemari dan menghampiri album foto itu. Aku
duduk di kursi goyang kesayangan oma sambil melihat-lihat foto-foto yang ada di
album itu.
Keasyikanku
terhenti ketika aku melihat foto seorang gadis dalam album, gadis yang belum
pernah aku lihat sebelummya. Memakai baju coklat , rambutnya dikepang dua
dengan pita-pita kecil menghiasainya. Hanya saja, dari foto yang aku lihat itu,
gadis itu seperti mengidap Downsyndrom, gadis yang berumur belasan tapi
di dalamnya terdapat jiwa balita. Tapi dia manis.
Berbagai
pertanyaan muncul dibenakku, sebenarnya siapa gadis ini? Mengapa aku tidak
pernah tahu selama ini? Kenapa tidak ada yang menceritakan kepadaku siapa gadis
ini?
Aku
terus mencari tahu sebenarnya siapa gadis album itu. Dan, aku menemukan satu
foto kartu ucapan ulang tahun. “Selamat Ulang Tahun, Merlyn...” -Peluk Cium
Papa Mama- Merlyn ? Siapa Merlyn?
Aku
tertidur di ruang baca Oma sekitar satu jam, ibuku membangunkan aku dan
menyuruhku untuk mandi dan bersiap makan malam bersama. Saat itu
pertanyaan-pertanyaan tentang Merlyn yang sebelum aku tertidur terus saja
bertengger di kepalaku, saat itu juga entah hilang kemana. Seperti ada sesuatu
yang hilang, yang seharusnya aku tanyakan kepada ayah dan omaku, tapi apa?
Selama
di meja makan aku hanya terdiam dan memakan makanan sekenanya saja,sepertinya
cacing dalam perutku kali ini sedang malas untuk mendendangkan keluhan laparnya
kepadaku, tidak seperti biasanya.
“Kinan,
masakan Oma tidak enak? Kenapa kamu tidak semangat begitu makannya? Kamu
sakit?”, pertanyaan Oma yang berentet membuyarkan lamunanku.
“Tidak
Oma, makanannnya enak kok, mungkin Kinan kecapeka aja Oma”, kataku sambil
tersenyum manis kepada Oma.
“Ya
sudah, kamu habiskan makan malammu terus kembali ke kamarmu buat istirahat”Ayah
menambahkan.
“Iya
yah...”
Aku
masih termenung, memikirkan apa yang sebelumnya aku pikirkan, kenapa aku tidak
bisa ingat sama sekali? Rasa penasaranku semakin membesar ketika aku melewati
ruang baca itu lagi. Album fotonya masih tergeletak di tempat yang sama.
Berharap dari album itu aku bisa teringat kembali apa yang sehrusnya aku
tanyakan.
Merlyn.
Satu
nama yang membuat aku penasaran, kali ini aku harus bertanya tentang gadis
itu.Dan, entah kenapa perasaan penasran ini tidak biasa, aku biasanya tidak
seperti ini bila penasaran akan sesuatu, tapi kali ini, beda. Aku tulis nama
itu dalam ponselku sebagai reminder, bila aku nanti lupa lagi setelah tertidur
di ruangan ini. Bener sekali, seketika rasa kantuk melandaku, mataku seakan tak
bisa diajak kompromi, aku melihat jam saat itu tepat pukul 11:11 malam. Kenapa
tiba-tiba malam terasa sangat cepat sekali? Bukankah baru saja aku makan malam
bersama keluargaku.
Tubuhku
serasa lemas, kakiku terasa lemah untuk menopang tubuh ini. Kurebahkan badanku
di sofa ruang baca itu masih dengan memegang album ditangan. Mataku akhirnya
terpejam, aku tertidur lagi.
Gelap.
Aku
berjalan melewati sebuah lorong tanpa cahaya, terlihat satu titik cahaya di
ujung lorong yang membuatku berjalan ke arahnya. Ternyata lorong itu membawaku
kesebuah ruangan. Tapi di mana itu?
Mimpi
yang mengerikan. Aku melihat sebuah pembunuhan dengan mata kepalaku sendiri. Seorang gadis yang dibunuh
dengan kejam dan meninggal di ruangan itu dengan keadaan tragis. Sayangnya
ruangan yang terlalu redup membuatku sulit melihat siapa-siapa saja yang
membunuh gadis itu, Kejadiannya sangat cepat. Tidak banyak yang bisa aku rekam
dalam ingatanku dari mimpi itu, hanya saja, yang paling aku ingat wajah dari
gadis di mimpiku itu. Wajahnya mirip dengan gadis yang pernah aku lihat di
album foto Oma. Sebenernya siapa dia?
Sentuhan
dan panggilan lembut ibu membangunkan ku perlahan. Aku terjaga dari mimpiku.
“Kamu, kenapa tidur di sini, Kinan?”.”Iya bu, aku ngantuk banget tadi bu, jadi
tertidur di sini.”
Aku
melihat arloji yang aku pakai, waktu itu menunjukkan pukul 9.15 malam. Seketika
aku kaget, karena ketika aku masuk ke ruang baca tadi jam sudah menunjukkan
pukul 11.11malam . Aku pikir arlojiku yang rusak. Aku memastikan penglihatanku
dengan melihat jam dinding di ruang baca itu. Astaga, jam tua itu menunjukkan
jam 9.15 malam. Entahlah apa yang terjadi, mungkin mataku saja yang mulai
rusak. Lain kali mungkin aku harus memakai kaca mata.
Malam
itu berlalu dengan hati yang tak karuan. Mimpi yang mengerikan, jam didinding
dan penglihatanku yang mulai tidak bagus.Dan keganjalan-keganjalan lainnya yang
aku alami. Entahlah,,,sebelum aku terlelap lagi dalam tidurku, aku berdo'a
semoga aku masih bisa melihat esok pagi yang cerah.
Mentari
yang hangat lembut menyentuh wajahku, aku terbangun. Senyum manispun aku
berikan kepada sang surya yang masih berkenan datang di pagiku. Aku bergegas
mandi dan menyiapkan diri untuk sarapan pagi bersama Oma, ayah dan ibu. Karena
Oma pasti akan ngamuk kalau aku tidak ikut sarapan pagi.
Benar
saja, Oma yang sedang berada di dapur bersenandung kecil dan sesekali
mengencangkan suaranya untuk sekedar memberi tanda jika sarapan sudah siap. Ibu
yang ikut menyiapkan sarapan pagi senyum-senyum kecil melihat kelakuan Oma yang
seperti orang jatuh cinta. Pagi yang indah.
Kamipun
berkumpul kembali di meja makan yang berukuran cukup besar itu, kira-kira cukup
untuk tujuh orang itu. Hari itu hari kedua aku berada di rumah Oma, rencananya
besoknya kami kembali ke kota karena akan ada acara di kantor ayah yang
mengharuskan aku dan ibu ikut menghadirinya. Tapi ternyata kami harus tetap
berada di rumah Oma.
Pagi
itu juga aku iseng bertanya kepada Oma tentang gadis yang aku lihat di album
foto Oma. Ketika itu kita sedang berkumpul di ruang keluarga. Oma yang tadinya
begitu berseri wajahnya, mendadak berubah seperti ada duka yang tersimpan. Luka
dalam. Dengan pandangan kosong Oma akhirnya menceritakan semuanya.
Merlyn,
gadis bungsu Oma, yang mengidap down syndrom atau yang biasa dikenal dengan
keterbelakangan metal. Menghilang
seperti tertelan bumi di rumah puluhan tahun yang lalu. Ketika kejadian itu Oma
tinggal bersama Paman Josh ,Bibi Lisa, dan Merlyn -anak kedua,ketiga,dan
keempat dari Oma- sedangkan ayahku anak pertama Oma yang harus kerja keras
menjadi tulang punggung keluarga menggantikan Opa yang telah meninggal. Yang
mengharuskan Ayah bekerja di negeri Paman Sam serta melanjutkan study-nya di
sana.
Malam
kejadian itu, Oma sedang menghadiri acara peresmian perusahaan milik kolega Opa
yang mengharuskan Oma tidak turut serta
mengajak Merlyn menghadiri acara
malam itu. Sepanjang acara hati Oma merasa tidak tenang meninggalkan
Merlyn di rumah sendirian di kamarnya meskipun di rumah ada Paman dan Bibi.
Benar saja, sesampainya di rumah Oma tidak menemukan Merlyn di kamarnya ,pun di
tempat lainnya.
Oma
mencari Merlyn keseluruh ruangan rumah
tapi hasilnya nihil. Keesokan harinya Oma memanggil polisi untuk melacak
keberadaan Merlyn. Tapi, pihak polisipun angkat tangan menangani kasus Merlyn
ini. Paman dan bibi yang ketika itu berada di rumah ketika kejadian
diperikas dan polisi tidak banyak
mendapat informasi dari mereka. Merlyn hilang ditelan bumi.
Awalnya
Oma percaya pasti Merlyn ada di sebuah tempat, tapi dimana?
Masalah
ini berlarut-larut tanpa ada penyelesaian. Oma hanya bisa menangis sepanjang
hari menangisi kepergian Merlyn. Masih hidup ataukah sudah meninggal.
Bertahun-tahun berlalu dan masih menyisakan misteri tentang keberadaan Merlyn.
Akhirnya Oma merelekan kepergian Merlyn, dan membuat satu kuburan yang
bertuliskan nama Merlyn pada batu nisan itu.
Bukan
waktu yang sebentar untuk menyembuhkan luka kehilangan kedua orang yang Oma
sayang. Opah dan Merlyn.
Hingga
akhirnya aku lahir ke dunia seperti memberikan warna yang baru untuk hidup Oma.
Paling tidak, Oma bisa sedikit melupakan Merlyn yang malang.
Sejam,
dua jam, dan hampir 5 jam aku duduk berbincang dengan Oma. Tepukan pundak Oma
mengakhiri percakapan kami ketika itu.
Bagitu
banyak pertanyaan berkecamuk di kepala, diamku memikirkan Merlyn yang malang.
Seharusnya cerita ini sudah dikubur dalam-dalam, bersama jasad Merlyn -yang
dianggap ditelan bumi- yang damai. Damai? Aku rasa tidak.
Malam
itu aku kembali bercengkrama dengan buku-buku Opah lagi. Sesuatu yang aku cari
aku harap bisa aku temukan malam itu juga.
Pukul
11 malam, aku masih tetap di sana, di ruang baca itu. Rasa kantuk bukan lagi merasuki
pelupuk mata melainkan hilang entah kemana, biasanya aku jam segini sudah
berada di alam mimpiku. Tapi tidak malam itu.
Aku
masih berada di alam sadarku. Jelas sekali sekelibatan seseorang mulai masuk ke
dalam ruang baca. Siluet wajah seorang perempuan tergambar jelas di dinding
depanku. Takut. Aku harap tidak menghinggapi dadaku ketika itu. Tapi ketakutan
itu malah semakin membesar dan menguasai dadaku.Sesak !
Aku
memejamkan mata. Tak sekalipun aku membuka. Beberapa menit berlalu aku baru
sadar, seharusnya aku menyaksikan semuanya. Bukankah ini yang aku cari?
Mungkin
jawaban dari petanyaan ku terjawab selama.
Kujadikan
ketakutan sebagai kekuatanku ketika itu. Aku takut jantungku akan melemah
setelah berdetak begitu cepat. Melihat kejadian yang tak dilihat orang awam,
mendengar suara yang bahkan tak terdengar. Baru sekali aku mengalaminya.
Suara
tangis, rintihan, ketawa terbahak, cacian-makian. Terdengar jelas, seisi rumah
seharusnya mendengar juga.Tapi tidak, hanya aku saja yang mendengar. Ingin sekali
berteriak melihat siluet kejadian pembunuhan di depanku.
Tapi
aku tidak bisa. Aku pasrah dengan semua yang aku lihat di depanku ketika itu.
Aku harap aku kuat, jantungku tidak melemah atau bahkan tiba-tiba berhenti.
Lagi-lagi aku tidak bisa mengeluarkan suara dari mulutku, apalagi untuk teriak.
Aku bungkam.
Dua
orang dewasa, seperti perempuan dan laki-laki sedang mengancam seorang gadis.
Dibunuh secara sadis, dan akhirnya dikubur dibalik tembok. Anehnya sejak
kapan mereka mempersiapkan branksa besar
dibalik tembok itu. Seperti sudah dipersiapkan, tubuh gadis itu dimasukkan ke
dalam brankas yang berlapis baja tebal.
Pembunuhan
itu seperti sudah dipersiapkan. Brankas besar dibalik tembok itu, seperti
ukurannya udah diukur sesuai dengan ukuran tubuh korban. Tapi yang dibunuh itu
siapa? Mengapa dia dibunuh? Apa motif pembunuhan itu?
Aku
terbangun dengan nafas tersengal,
keringat bercucuran, sekujur tubuhku serasa sakit semua. Dan aku menemukan
diriku sudah berada di kamarku sendiri. Seingatku aku berada di ruang baca
Opah. Lalu siapa yang memindahkanku ke tempat tidur ini? Apa yang terjadi tadi
malam hanyalah mimpi? Tapi itu terlalu nyata untuk sebuah mimpi.
Aku
menceritakan semua yang telah aku alami kepada ayah , ibu dan omaku. Hingga
akhirnya ayah yang tadinya tidak percaya dengan apa yang aku ceritakan, mau
menurutiku untuk membungkar tembok yang berada di balik jam dinding tua di
ruang baca Opah.
Sial
!
Yang
aku takutkan benar terjadi. Jasad Merlyn tersimpan rapi di balik tembok itu.
Seharusnya aku tidak mengungkap misteri ini tapi, sebuah kesalahan besar bila
aku tak juga membuka tabir misteri kematian sang gadis malang. Merlyn.
Omah
shock, ibu memegangi pundak omah dari pertama dibungkarnya tembok itu. Ayah
hanya bisa terduduk lemas melihat pihak otopsi memeriksa jasad saudara
bungsunya yang terbujur kaku. Dan aku,,,hanya bisa diam.
Tubuh
mungil Merlyn dipindahkan dari kotak besi yang dingin ke dalam peti yang memang
seharusnya jasad itu bersemayam. Anehnya, belasan tahun jasad Merlyn dikubur di
balik tembok itu, dan tidak ada yang mencurigainya. Bahkan dari jasad Merlyn
tak tercium bau busuk yang biasa dikeluarkan dari tubuh yang telah mati.
Singkat
peristiwa, pihak otopsi memberikan hasil otopsi dari tubuh Merlyn. Ditemukan
sidik jari dari pihak pembunuh. Tidak memakan waktu yang lama, pihak kepolisian
sudah menetapkan dua tersangka. Yaitu paman
dan bibiku, dua adik dari ayah.
Motif
dibalik pembunuhan itu adalah karena mereka beranggapan Merlyn yang selalu
menyusahkan keluarga karena penyakit yang diderita itu membuat mereka
berpikiran pendek untuk mematikan Merlyn dan menyimpannya di dalam lemari besi
itu. Sadis.
Selain
itu mereka juga merasa malu karena
memiliki saudara yang mengidap downsyndrom. Dengan membunuh Merlynlah
akan menghentikan silsilah keturunan downsyndrom dan tidak ada lagi keturunan
donwsyndrom. Sebenernya downsyndrom itu sendiri dibawa oleh gen keturunan yang
akan ada keturunan lain pula yang mengalami downsyndrom.
Penulis: Nita Cristy Sahabat Penaku (Moch Umar Kusuma,SH)
Subscribe to:
Posts (Atom)