Saturday, December 15, 2012

NEGARA DAN PRINSIP NOMOKRASI ISLAM


NEGARA DAN PRINSIP NOMOKRASI ISLAM
Kemenangan Turki sebagai negara yang pernah mempraktikan negara khilafah,Menandakan bahwa Islam sebagai agama yang berpengaruh besar, juga memilki konsep negara hukum, yang dikenal sebagai nomokrasi Islam. Dalam teori ilmu negara sebuah negara yang berdiri karena alasan teologis, maka disebut negara itu sebagai negara teokrasi. Namun teori yang lazim diperkenalkan oleh Ilmu negara sebagai asal mula terciptanya negara, bahwa nomokrasi Islam merupakan konsep teokrasi disanggah oleh penulis hukum Islam, dengan alasan bahwa penyebutan teokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan yang mengakui Tuhan atau dewa sebagai penguasa dekat. Sehingga teokrasi lebih cocok diberikan kepada negara yang dipimpin oleh Vatikan, seperti yang pernah terjadi di Roma.
Ajaran Islam sangat egaliter dan mengutamakan persamaan (equity), sehingga tidak mungkin dapat dibenarkan sekelompok ahli agama mengklaim diri mereka sebagai wakil Tuhan untuk dapat berkuasa dalam suatu negara.
Perkembangan pada hukum dan konstitusi modern, bagi hukum Islam akan beradaptasi dengan hukum modern (modern jurisprudent)  baik yang berada dalam ranah rule of law maupun rechstaat. Karena itu dalam perancangan konstitusi sebuah negara, ia tidak terlepas dari ciri khas hukum Islam. Apalagi sulit dinafikan, saat ini banyak pemuka dan pembaharu Islam menginginkan agar beberapa syariat diintegrasikan dalam konstitusi guna mengatur warga dan pemeluk agama Islam.
Nomokrasi Islam diartikan sebagai prinsip-prinsip umum negara hukum yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a.    Prinsip kekuasaaan sebagai amanah.
b.    Prinsip musyawarah.
c.    Prinsip keadilan.
d.    Prinsip persamaan.
e.    Prinsip pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia.
f.    Prinsip peradilan bebas.
g.    Prinsip perdamaian.
h.    Prinsip kesejahteraan.
i.    Prinsip ketaatan rakyat.
Dengan demikian berdasarkan prinsip-prinsip negara hukum dengan konsep nomokrasi Islam di atas, maka nomokrasi Islam adalah genus yang tepat untuk istilah bagi negara yang tunduk dan taat pada aturan hukum Islam-syariah. Nomokrasi Islam memiliki atau ditandai oleh prinsip-prinsip umum yang digariskan dalam al-Qur’an dan dicontohkan dalam sunnah. Diantara prinsip-prinsip itu, maka prinsip musyawarah, keadilan dan persamaan merupakan persamaan yang menonjol dalam nomokrasi Islam. Sedangkan teokrasi adalah suatu miskonsepsi atau kegagalan pemahaman (vervostandnis) terhadap konsep negara dari sudut hukum Islam. Karena baik secara teoritis maupun sepanjang praktik sejarah Islam, teokrasi tidak dikenal dan tidak pula pernah diterapkan dalam Islam.

A.      KONSEP KESEJAHTERAAN

Definisi Kesejahteraan dalam konsep dunia modern adalah sebuah kondisi dimana seorang dapat memenuhi kebutuhan pokok, baik itu kebutuhan akan makanan, pakaian, tempat tinggal, air minum yang bersih serta kesempatan untuk melanjutkan pendidikan dan memiliki pekerjaan yang memadai yang dapat menunjang kualitas hidupnya sehingga memiliki status sosial yang mengantarkan pada status sosial yang sama terhadap sesama warga lainnya . Kalau menurut HAM, maka definisi kesejahteraan kurang lebih berbunyi bahwa setiap laki laki ataupun perempuan, pemuda dan anak kecil memiliki hak untuk hidup layak baik dari segi kesehatan, makanan, minuman, perumahan, dan jasa sosial, jika tidak maka hal tersebut telah melanggar HAM.

B.       KESEJAHTERAAN DALAM KONSEP ISLAM
Terdapat sejumlah argumentasi baik yang bersifat teologis-normatif maupun rasional-filosofis yang menegaskan tentang betapa ajaran Islam amat peduli untuk mewujudkan kesejahteraan sosial.
Pertama, dilihat dari pengertiannya, sejahtera sebagaimana dikemukakan dalam Kamus Besar Indonesia adalah aman, sentosa, damai, makmur, dan selamat (terlepas) dari segala macam gangguan, kesukaran, dan sebagainya. Pengertian ini sejalan dengan pengertian “Islam” yang berarti selamat, sentosa, aman, dan damai. Dari pengertiannya ini dapat dipahami bahwa masalah kesejahteraan sosial sejalan dengan misi Islam itu sendiri. Misi inilah yang sekaligus menjadi misi kerasulan Nabi Muhammad Saw, sebagaimana dinyatakan dalam ayat yang berbunyi :
“Dan tidaklah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.” (Q.S. al-anbiyâ’ [21]: 107).
Kedua, dilihat dari segi kandungannya, terlihat bahwa seluruh aspek ajaran Islam ternyata selalu terkait dengan masalah kesejahteraan sosial. Hubungan dengan Allah misalnya, harus dibarengi dengan hubungan dengan sesama manusia (habl min Allâh wa habl min an-nâs). Demikian pula anjuran beriman selalu diiringi dengan anjuran melakukan amal saleh, yang di dalamnya termasuk mewujudkan kesejahteraan sosial. Selanjutnya, ajaran Islam yang pokok (Rukun Islam), seperti mengucapkan dua kalimat syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji, sangat berkaitan dengan kesejahteraan sosial. Orang yang mengucapkan dua kalimah syahadat adalah orang yang menegaskan komitmen bahwa hidupnya hanya akan berpegang pada pentunjuk Allah dan Rasul-Nya. Karena, tidak mungkin orang mau menciptakan ketenangan jika tidak ada komitmen iman dalam hatinya. Demikian pula ibadah shalat (khususnya yang dilakukan secara berjama’ah), juga mengandung maksud agar mau memperhatikan nasib orang lain. Ucapan salam pada urutan terakhir rangkain shalat berupaya mewujudkan kedamaian. Selanjutnya, dalam ibadah puasa seseorang diharapkan dapat merasakan lapar sebagaimana yang biasa dirasakan oleh orang lain yang berada dalam kekurangan. Kemudian, dalam zakat juga tampak jelas unsur kesejahteraan sosialnya lebih kuat lagi. Demikian pula dengan ibadah haji, yang mengajarkan seseorang agar memiliki sikap merasa sederajat dengan manusia lainnya.

Ketiga, upaya mewujudkan kesejahteraan sosial merupakan misi kekhalifahan yang dilakukan sejak Nabi Adam As. Sebagian pakar, sebegaimana dikemukakan H.M. Quraish Shihab dalam bukunya Wawasan Al-Quran (hal. 127), menyatakan bahwa kesejahteraan sosial yang didambakan al-Quran tercermin di Surga yang dihuni oleh Adam dan isterinya sesaat sebelum mereka turun melaksanakan tugas kekhalifahan di bumi. Seperti diketahui, sebelum Adam dan isterinya diperintahkan turun ke bumi, mereka terlebih dahulu ditempatkan di Surga. Surga diharapkan menjadi arah pengabdian Adam dan Hawa, sehingga bayang-bayang surga itu bisa diwujudkan di bumi dan kelak dihuni secara hakiki di akhirat. Masyarakat yang mewujudkan bayang-bayang surga itu adalah masyarakat yang berkesejahteraan. Kesjaterjaan surgawi ini dilukiskan antara lain dalam firman-Nya yang berbunyi :
“Hai adam, sesungguhnya ini (Iblis ) adalah musuh bagimu dan bagi isterimu, maka sekali-kali jangan sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari Surga, yang akibatnya engkau akan bersusah payah. Sesungguhnya engkau tidak akan kelaparan di sini (surga), tidak pula akan telanjang, dan sesungguhnya engkau tidak akan merasakan dahaga maupun kepanasan. (Q.S. Thâhâ, 20: 117-119).
Dari ayat ini jelas bahwa pangan, sandang, dan papan yang diistilahkan dengan tidak lapar dan dahaga, tidak telanjang, dan tidak kepanasan semuanya telah terpenuhi di sana. Terpenuhinya kebutuhan ini merupakan unsur pertama dan utama kesejahteraan sosial.
Keempat, di dalam ajaran Islam terdapat pranata dan lembaga yang secara langsung berhubungan dengan upaya penciptaan kesejahteraan sosial, seperti wakaf dan sebagainya. Semua bentuk pranata dan lembaga sosial berupaya mencari berbagai alternatif untuk mewujudkan kesejahteraan sosial. Namun, suatu hal yang perlu dicatat, berbagai bentuk pranat ini belum merata dilakukan oleh umat Islam dan belum pula efektif dalam mewujudkan kesejahteraan sosial. Hal ini mungkin disebabkan belum munculnya kesadaran yang merata serta pengelolaannya yang baik.
Dalam ajaran Islam prinsip Tauhid merupakan hal yang paling asasi dan esensial. Ia tidak boleh sampai terlepas dalam jiwa keyakinan setiap insan muslim yang mengaku, bahwa Tidak ada Tuhan yang patut disembah, kecuali Allah semata dan Muhammad itu utusanNya. Prinsip Tauhid ini secara definitif telah dijabarkan oleh Allah dalam firmanNya: “Katakanlah, Dialah Allah, Tuhan Yang Maha Tunggal; Allah-lah tempat sekalian makhluk bergantung; Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan, tidak ada siapapun yang sebanding denganNya. (Al-Ikhlas 1-4). 
Prinsip ini menuntut setiap muslim senantiasa sadar, bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini semata-mata hasil dari ciptaanNya. Kita semua adalah makhluknya yang serba lemah dengan segala sifat keterbatasannya. Dan semua ciptaanNya itu tidaklah sia-sia. Semuanya diperuntukkan demi kebahagiaan, kemakmuran dan kesejahteraan semua makhlukNya. Hanya manusialah makhluk yang diciptakanNya secara lebih paripurna dibanding yang lainnya. (At-Tin : 4).
Dan dengan berbekal akalnya, manusia diperintahkan untuk memikirkan segala kejadian alam seisinya sebagai tanda kekuasaan Allah (Al-Baqarah : 164).
Ruh Tauhid telah mengajarkan kepada manusia, bahwa seluruh harta benda, kekayaan rizki, manusia dan kehidupannya, potensi serta sumber daya alam seisinya yang melimpah ruah itu adalah semata-mata dari Allah. Dialah yang mempunyai segalanya itu sebagai hasil ciptaanNya. Dialah “pemilik tunggal” dari semuanya itu, alam, kehidupan beserta isinya. Allah telah menegaskan bahwa: “Dan hanya kepunyaan Allah-lah segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi, dan kepadaNya akan dikembalikan segala urusan (Al-Imran : 109). Bunyi senada juga dapat kita baca pada ayat 189 di surah yang sama, kemudian Al-Maidah : 40, dan sebagainya. Dengan demikian manusia tak lebih sebagai hambaNya yang wajib beriman kepadaNya dan sebagai pemakai, pengelola karuniaNya tersebut atau yang diistilahkan Qur’an sebagai khalifah fil ardhi.
Konsep kesejahteraan sosial menitikberatkan pada bidang ekonomi dan bersifat sebagai bantuan sosial dan kemanusiaan. Karena itu konsep ini meletakkan dasar pemerataan dari segala sesuatu yang telah dikaruniakanNya kepada hambaNya. Pemerataan di sini tidak memandang bagaimana dan siapa orangnya, tapi memusatkan perhatiannya pada suatu hak mutlak, bahwa segala sesuatu yang telah diberikanNya kepada para hambaNya itu semata-mata hak dan milik Allah. Karena itu bagaimanapun dan siapapun orangnya, dia berhak untuk menikmati semua pemberian Allah tadi. Dan bagi mereka yang tidak sempat menikmatinya, maka hak ini “dilekatkan” pada mereka yang berkecukupan/mampu sebagai suatu kewajiban, agar mereka itu menyalurkannya kepada mereka yang berhak untuk menerima dan menikmati segala pemberianNya. 
Disinilah pokok pangkalnya mengapa prinsip kesejahteraan ini menjadi salah satu wujud persamaan, manusia sebagai ciptaanNya mempunyai hak yang sama, sedang dalam arti nilai kemuliaan mereka itu tidak sama. Artinya, hanya orang yang paling bertakwa sajalah yang dipandang paling mulia di sisi Allah yang disebut dalam Al-Quran: Inna akramakum ‘ndallahi atqaa. Di saat semakin merajalelanya sistem perekonomian kapitalisme yang bahkan sudah menyusup demikian dalam kehidupan negara-negara Islam maupun negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, masalah pengangguran dan tidak meratanya kesejahteraan sosial merupakan bagian yang tak akan pernah terpisahkan dari sistem ekonomi kapitalisme ini. “Harus ada pihak yang dikorbankan” itulah prinsip eksploitasi yang ada dalam sistem ekonomi kapitalisme, sesuatu yang sangat bertentangan dengan ajaran Islam, dimana semua orang berhak mendapat kesempatan yang sama dalam memperoleh kesejahteraan.
Di dalam mengejawantahkan konsep kesejahteraan sosial ini, Islam sarat dengan ajaran-ajaran luhurnya yang tidak mengenal ras, kulit, bangsa dan agama. Namun lebih menitikberatkan pada prinsip tolong menolong, perikemanusiaan, keadilan dan sebagainya yang harus ditegakkan sebagai pilar kehidupan mereka yang miskin, yatim-piatu, peminta-minta, gelandangan, hamba sahaya, dan sebagainya. Allah SWT berfirman: “Bukanlah kebajikan itu lalu kamu memalingkan muka-mukamu ke pihak Timur dan Barat, tapi kebajikan orang yang beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat, kitab-kitab dan nabi-nabiNya, yang mendermakan harta yang dicintainya itu kepada keluarga dekatnya, anak-anak yatim, orang miskin, musafir, yang meminta dan dalam hal menebus/memerdekan hamba sahaya/budak, yang mendirikan shalat dan mengeluarkan zakat, yang menyempurnakan perjanjiannya, apabila berjanji, dan sabar di saat kesulitan dan diwaktu perang; mereka itulah orang-orang benar dan berbakti. (Al-Baqarah: 177). 
Katakanlah: “Sesungguhnya Tuhanku itu dapat meluaskan dan membatasi rizki pemberiannya kepada siapa saja yang ia kehendaki; dan segala sesuatu yang kamu dermakan itu akan digantiNya, karena Ialah sebaik-baik memberi rizki itu, (Saba’:39). Dan mereka memberi makanan yang amat disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang-orang tawanan. (Al-Ihsan: 8).
Dan orang-orang yang membelanjakan sebagian dari apa-apa yang kami telah kurniakan kepada mereka; dan binatang qurban itu, Kami jadikan dia buat kamu….,maka apabila sembelihan itu telah mati, makanlah dirinya dan berilah makan kepada para fakir yang menjaga kehormatannya serta fakir yang meminta, demikianlah kami persembahkan binatang sembelihan itu buat kamu, agar kalian bersyukur. (Al-Hajj: 35-36). Konsep persamaan untuk menikmati pemberianNya ini menumbuhkan dasar-dasar pemerataan dalam sistem perekonomian Islam. Karena bagi mereka yang berkecukupan atau mampu dibebani oleh “tanggung jawab moral” untuk turut menanggulangi beban penderitaan yang menghimpit mereka, anak yatim-piatu, orang miskin, fakir, budah/hamba sahaya, orang yang kehilangan/habis perbekalannya dalam suatu perantauan/perjalanan, mereka yang meminta-minta/gelandangan, dan yang sejenisnya. Karena mereka pun adalah manusia yang sama seperti kita. Mereka membutuhkan pula sandang pangan dan papan seperti layaknya kita. Dan mereka pun ingin menikmati secercah harapan dalam hidup dan kehidupan ini.
Tanggung jawab moral ini tentu tidak akan terasa, bahkan diabaikan begitu saja bagi mereka yang menganggap shodaqoh/sedekah dan zakat ini akan mengurangi keuntungan dan hartanya. Mereka inilah yang oleh Allah disebut sebagai orang yang bakhil dan kikir.
Sesungguhnya penghidupan dunia ini hanyalah suatu permainan dan buaian, tapi jika kamu beriman dan berbakti, Ia akan memberikan balasan pahala bagimu dan tidak meminta hartamu. Jika ia meminta hartamu dengan sungguh-sungguh, niscaya kamu akan menjadi bakhil dan kekikiranmu itu akan menampakkan kebencianmu untuk menjalankan/membelanjakannya di jalan Allah. Nah, sekarang kamu adalah orang-orang yang diajak untuk membelanjakan hartamu di jalanNya, tapi diantara kamu ternyata ada yang kikir, padahal barang siapa yang kikir, maka tidaklah ia bakhil melainkan untuk dirinya sendiri, sedang Allah itu tidak memerlukanmu, tapi sebaliknya kamulah yang memerlukanNya; dan jika kamu berpaling, Allah akan mengganti satu kaum/golongan yang lain yang berbeda denganmu, kemudian mereka tidak menjadi seperti layaknya kamu. (lihat QS. Muhammad : 36-38). Apakah kamu takut menjadi miskin, lantaran mengeluarkan sedekah sebelum datang bisikanmu. Ketahuilah, sekiranya kamu tidak mengerjakan hal itu karena tidak mampu, maka Allah telah memaafkanmu, karena itu dirikanlah shalat dan keluarkanlah zakat, taatlah kepada Allah dan RasulNya, karena Allah itu Maha Mengetahui semua perbuatanmu. (Al-Mujadilah : 13).
 Dalam surah Al-Taghabun ayat 15 dinyatakan, bahwa sesungguhnya harta-harta kamu dan anak-anak kamu itu tidak lain, karena di sisi Allah ada ganjaran besar yang lebih baik dari semua itu.
Ajaran-ajaran luhur Islam ini seharusnya menjadi motivasi semua tindakan dan peraturan yang berkaitan dengan sistem sosio-ekonomi kita, dan bukannya meninggalkan ajaran berbasis pemerataan dan keadilan sosial ini, sebuah tindakan sistem ekonomi kapitalisme yang kejam yang selama ini justru semakin digalakkan negara ini di berbagai bidang dan mengesampingkan kesejahteraan masyarakat negara ini yang dari tahun ke tahun semakin merosot kondisi perekomiannya menuju kefakiran. Ingat kefakiran yang berlebihan merupakan pangkal dari munculnya kekafiran. Lihat saja berbagai gejala kekafiran yang sudah mulai banyak bermunculan di negara ini, semakin banyak kerusuhan, pelanggaran HAM dan banyak lagi hal buruk yang seakan sah-sah saja padahal jelas-jelas melanggar prinsip-prinsip kemanusiaan.

No comments: