NEGARA DAN PRINSIP
NOMOKRASI ISLAM
Kemenangan Turki sebagai negara yang pernah mempraktikan
negara khilafah,Menandakan bahwa Islam sebagai agama yang berpengaruh besar,
juga memilki konsep negara hukum, yang dikenal sebagai nomokrasi Islam. Dalam
teori ilmu negara sebuah negara yang berdiri karena alasan teologis, maka
disebut negara itu sebagai negara teokrasi. Namun teori yang lazim
diperkenalkan oleh Ilmu negara sebagai asal mula terciptanya negara, bahwa
nomokrasi Islam merupakan konsep teokrasi disanggah oleh penulis hukum Islam,
dengan alasan bahwa penyebutan teokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan yang
mengakui Tuhan atau dewa sebagai penguasa dekat. Sehingga teokrasi lebih cocok
diberikan kepada negara yang dipimpin oleh Vatikan, seperti yang pernah terjadi
di Roma.
Ajaran Islam sangat egaliter dan mengutamakan persamaan
(equity), sehingga tidak mungkin dapat dibenarkan sekelompok ahli agama
mengklaim diri mereka sebagai wakil Tuhan untuk dapat berkuasa dalam suatu
negara.
Perkembangan pada hukum dan konstitusi modern, bagi hukum
Islam akan beradaptasi dengan hukum modern (modern jurisprudent) baik
yang berada dalam ranah rule of law maupun rechstaat. Karena itu dalam
perancangan konstitusi sebuah negara, ia tidak terlepas dari ciri khas hukum
Islam. Apalagi sulit dinafikan, saat ini banyak pemuka dan pembaharu Islam
menginginkan agar beberapa syariat diintegrasikan dalam konstitusi guna
mengatur warga dan pemeluk agama Islam.
Nomokrasi Islam diartikan sebagai prinsip-prinsip umum
negara hukum yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a.
Prinsip kekuasaaan sebagai amanah.
b.
Prinsip musyawarah.
c.
Prinsip keadilan.
d.
Prinsip persamaan.
e.
Prinsip pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia.
f.
Prinsip peradilan bebas.
g.
Prinsip perdamaian.
h.
Prinsip kesejahteraan.
i.
Prinsip ketaatan rakyat.
Dengan demikian berdasarkan prinsip-prinsip negara hukum
dengan konsep nomokrasi Islam di atas, maka nomokrasi Islam adalah genus yang
tepat untuk istilah bagi negara yang tunduk dan taat pada aturan hukum
Islam-syariah. Nomokrasi Islam memiliki atau ditandai oleh prinsip-prinsip umum
yang digariskan dalam al-Qur’an dan dicontohkan dalam sunnah. Diantara
prinsip-prinsip itu, maka prinsip musyawarah, keadilan dan persamaan merupakan
persamaan yang menonjol dalam nomokrasi Islam. Sedangkan teokrasi adalah suatu
miskonsepsi atau kegagalan pemahaman (vervostandnis) terhadap konsep negara
dari sudut hukum Islam. Karena baik secara teoritis maupun sepanjang praktik
sejarah Islam, teokrasi tidak dikenal dan tidak pula pernah diterapkan dalam
Islam.
A.
KONSEP KESEJAHTERAAN
Definisi Kesejahteraan dalam konsep dunia modern adalah
sebuah kondisi dimana seorang dapat memenuhi kebutuhan pokok, baik itu
kebutuhan akan makanan, pakaian, tempat tinggal, air minum yang bersih serta
kesempatan untuk melanjutkan pendidikan dan memiliki pekerjaan yang memadai
yang dapat menunjang kualitas hidupnya sehingga memiliki status sosial yang
mengantarkan pada status sosial yang sama terhadap sesama warga lainnya . Kalau
menurut HAM, maka definisi kesejahteraan kurang lebih berbunyi bahwa setiap
laki laki ataupun perempuan, pemuda dan anak kecil memiliki hak untuk hidup
layak baik dari segi kesehatan, makanan, minuman, perumahan, dan jasa sosial,
jika tidak maka hal tersebut telah melanggar HAM.
B.
KESEJAHTERAAN DALAM KONSEP ISLAM
Terdapat sejumlah argumentasi baik yang bersifat
teologis-normatif maupun rasional-filosofis yang menegaskan tentang betapa
ajaran Islam amat peduli untuk mewujudkan kesejahteraan sosial.
Pertama, dilihat dari pengertiannya, sejahtera sebagaimana
dikemukakan dalam Kamus Besar Indonesia adalah aman, sentosa, damai, makmur,
dan selamat (terlepas) dari segala macam gangguan, kesukaran, dan sebagainya.
Pengertian ini sejalan dengan pengertian “Islam” yang berarti selamat, sentosa,
aman, dan damai. Dari pengertiannya ini dapat dipahami bahwa masalah
kesejahteraan sosial sejalan dengan misi Islam itu sendiri. Misi inilah yang
sekaligus menjadi misi kerasulan Nabi Muhammad Saw, sebagaimana dinyatakan dalam
ayat yang berbunyi :
“Dan tidaklah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.” (Q.S. al-anbiyâ’ [21]: 107).
“Dan tidaklah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.” (Q.S. al-anbiyâ’ [21]: 107).
Kedua, dilihat dari segi kandungannya, terlihat bahwa
seluruh aspek ajaran Islam ternyata selalu terkait dengan masalah kesejahteraan
sosial. Hubungan dengan Allah misalnya, harus dibarengi dengan hubungan dengan
sesama manusia (habl min Allâh wa habl
min an-nâs). Demikian pula anjuran beriman selalu diiringi dengan anjuran
melakukan amal saleh, yang di dalamnya termasuk mewujudkan kesejahteraan
sosial. Selanjutnya, ajaran Islam yang pokok (Rukun Islam), seperti mengucapkan
dua kalimat syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji, sangat berkaitan dengan
kesejahteraan sosial. Orang yang mengucapkan dua kalimah syahadat adalah orang
yang menegaskan komitmen bahwa hidupnya hanya akan berpegang pada pentunjuk
Allah dan Rasul-Nya. Karena, tidak mungkin orang mau menciptakan ketenangan
jika tidak ada komitmen iman dalam hatinya. Demikian pula ibadah shalat
(khususnya yang dilakukan secara berjama’ah), juga mengandung maksud agar mau
memperhatikan nasib orang lain. Ucapan salam pada urutan terakhir rangkain
shalat berupaya mewujudkan kedamaian. Selanjutnya, dalam ibadah puasa seseorang
diharapkan dapat merasakan lapar sebagaimana yang biasa dirasakan oleh orang
lain yang berada dalam kekurangan. Kemudian, dalam zakat juga tampak jelas
unsur kesejahteraan sosialnya lebih kuat lagi. Demikian pula dengan ibadah
haji, yang mengajarkan seseorang agar memiliki sikap merasa sederajat dengan
manusia lainnya.
Ketiga, upaya mewujudkan kesejahteraan sosial merupakan misi
kekhalifahan yang dilakukan sejak Nabi Adam As. Sebagian pakar, sebegaimana
dikemukakan H.M. Quraish Shihab dalam bukunya Wawasan Al-Quran (hal. 127),
menyatakan bahwa kesejahteraan sosial yang didambakan al-Quran tercermin di
Surga yang dihuni oleh Adam dan isterinya sesaat sebelum mereka turun
melaksanakan tugas kekhalifahan di bumi. Seperti diketahui, sebelum Adam dan
isterinya diperintahkan turun ke bumi, mereka terlebih dahulu ditempatkan di Surga.
Surga diharapkan menjadi arah pengabdian Adam dan Hawa, sehingga bayang-bayang
surga itu bisa diwujudkan di bumi dan kelak dihuni secara hakiki di akhirat.
Masyarakat yang mewujudkan bayang-bayang surga itu adalah masyarakat yang
berkesejahteraan. Kesjaterjaan surgawi ini dilukiskan antara lain dalam
firman-Nya yang berbunyi :
“Hai adam, sesungguhnya ini (Iblis )
adalah musuh bagimu dan bagi isterimu, maka sekali-kali jangan sampai ia
mengeluarkan kamu berdua dari Surga, yang akibatnya engkau akan bersusah payah.
Sesungguhnya engkau tidak akan kelaparan di sini (surga), tidak pula akan
telanjang, dan sesungguhnya engkau tidak akan merasakan dahaga maupun
kepanasan. (Q.S. Thâhâ, 20: 117-119).
Dari ayat ini jelas bahwa pangan, sandang, dan papan yang diistilahkan
dengan tidak lapar dan dahaga, tidak telanjang, dan tidak kepanasan semuanya
telah terpenuhi di sana. Terpenuhinya kebutuhan ini merupakan unsur pertama dan
utama kesejahteraan sosial.
Keempat, di dalam ajaran Islam terdapat pranata dan lembaga yang
secara langsung berhubungan dengan upaya penciptaan kesejahteraan sosial,
seperti wakaf dan sebagainya. Semua bentuk pranata dan lembaga sosial berupaya
mencari berbagai alternatif untuk mewujudkan kesejahteraan sosial. Namun, suatu
hal yang perlu dicatat, berbagai bentuk pranat ini belum merata dilakukan oleh
umat Islam dan belum pula efektif dalam mewujudkan kesejahteraan sosial. Hal
ini mungkin disebabkan belum munculnya kesadaran yang merata serta
pengelolaannya yang baik.
Dalam ajaran Islam prinsip Tauhid merupakan hal yang paling
asasi dan esensial. Ia tidak boleh sampai terlepas dalam jiwa keyakinan setiap
insan muslim yang mengaku, bahwa Tidak ada Tuhan yang patut disembah, kecuali
Allah semata dan Muhammad itu utusanNya. Prinsip Tauhid ini secara definitif
telah dijabarkan oleh Allah dalam firmanNya: “Katakanlah, Dialah Allah, Tuhan
Yang Maha Tunggal; Allah-lah tempat sekalian makhluk bergantung; Dia tidak
beranak dan tidak diperanakkan, tidak ada siapapun yang sebanding denganNya.
(Al-Ikhlas 1-4).
Prinsip ini menuntut setiap muslim senantiasa sadar, bahwa
segala sesuatu yang ada di dunia ini semata-mata hasil dari ciptaanNya. Kita
semua adalah makhluknya yang serba lemah dengan segala sifat keterbatasannya.
Dan semua ciptaanNya itu tidaklah sia-sia. Semuanya diperuntukkan demi
kebahagiaan, kemakmuran dan kesejahteraan semua makhlukNya. Hanya manusialah
makhluk yang diciptakanNya secara lebih paripurna dibanding yang
lainnya. (At-Tin : 4).
Dan dengan berbekal akalnya, manusia diperintahkan untuk
memikirkan segala kejadian alam seisinya sebagai tanda kekuasaan Allah
(Al-Baqarah : 164).
Ruh Tauhid telah mengajarkan kepada manusia, bahwa seluruh
harta benda, kekayaan rizki, manusia dan kehidupannya, potensi serta sumber
daya alam seisinya yang melimpah ruah itu adalah semata-mata dari Allah. Dialah
yang mempunyai segalanya itu sebagai hasil ciptaanNya. Dialah “pemilik tunggal”
dari semuanya itu, alam, kehidupan beserta isinya. Allah telah menegaskan
bahwa: “Dan hanya kepunyaan Allah-lah segala sesuatu yang ada di langit dan di
bumi, dan kepadaNya akan dikembalikan segala urusan (Al-Imran : 109). Bunyi
senada juga dapat kita baca pada ayat 189 di surah yang sama, kemudian
Al-Maidah : 40, dan sebagainya. Dengan demikian manusia tak lebih sebagai hambaNya
yang wajib beriman kepadaNya dan sebagai pemakai, pengelola karuniaNya tersebut
atau yang diistilahkan Qur’an sebagai khalifah fil ardhi.
Konsep kesejahteraan sosial menitikberatkan pada bidang
ekonomi dan bersifat sebagai bantuan sosial dan kemanusiaan. Karena itu konsep
ini meletakkan dasar pemerataan dari segala sesuatu yang telah dikaruniakanNya
kepada hambaNya. Pemerataan di sini tidak memandang bagaimana dan siapa
orangnya, tapi memusatkan perhatiannya pada suatu hak mutlak, bahwa segala sesuatu
yang telah diberikanNya kepada para hambaNya itu semata-mata hak dan milik
Allah. Karena itu bagaimanapun dan siapapun orangnya, dia berhak untuk
menikmati semua pemberian Allah tadi. Dan bagi mereka yang tidak sempat
menikmatinya, maka hak ini “dilekatkan” pada mereka yang berkecukupan/mampu
sebagai suatu kewajiban, agar mereka itu menyalurkannya kepada mereka yang
berhak untuk menerima dan menikmati segala pemberianNya.
Disinilah pokok pangkalnya mengapa prinsip kesejahteraan ini
menjadi salah satu wujud persamaan, manusia sebagai ciptaanNya mempunyai hak
yang sama, sedang dalam arti nilai kemuliaan mereka itu tidak sama. Artinya,
hanya orang yang paling bertakwa sajalah yang dipandang paling mulia di sisi
Allah yang disebut dalam Al-Quran: Inna akramakum ‘ndallahi atqaa. Di saat
semakin merajalelanya sistem perekonomian kapitalisme yang bahkan sudah
menyusup demikian dalam kehidupan negara-negara Islam maupun negara-negara yang
mayoritas penduduknya beragama Islam, masalah pengangguran dan tidak meratanya
kesejahteraan sosial merupakan bagian yang tak akan pernah terpisahkan dari
sistem ekonomi kapitalisme ini. “Harus ada pihak yang dikorbankan” itulah
prinsip eksploitasi yang ada dalam sistem ekonomi kapitalisme, sesuatu yang
sangat bertentangan dengan ajaran Islam, dimana semua orang berhak mendapat
kesempatan yang sama dalam memperoleh kesejahteraan.
Di dalam mengejawantahkan konsep kesejahteraan sosial ini,
Islam sarat dengan ajaran-ajaran luhurnya yang tidak mengenal ras, kulit,
bangsa dan agama. Namun lebih menitikberatkan pada prinsip tolong menolong,
perikemanusiaan, keadilan dan sebagainya yang harus ditegakkan sebagai pilar
kehidupan mereka yang miskin, yatim-piatu, peminta-minta, gelandangan, hamba
sahaya, dan sebagainya. Allah SWT berfirman: “Bukanlah kebajikan itu lalu kamu
memalingkan muka-mukamu ke pihak Timur dan Barat, tapi kebajikan orang yang
beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat, kitab-kitab dan nabi-nabiNya,
yang mendermakan harta yang dicintainya itu kepada keluarga dekatnya, anak-anak
yatim, orang miskin, musafir, yang meminta dan dalam hal menebus/memerdekan
hamba sahaya/budak, yang mendirikan shalat dan mengeluarkan zakat, yang
menyempurnakan perjanjiannya, apabila berjanji, dan sabar di saat kesulitan dan
diwaktu perang; mereka itulah orang-orang benar dan berbakti. (Al-Baqarah:
177).
Katakanlah: “Sesungguhnya Tuhanku itu dapat meluaskan dan
membatasi rizki pemberiannya kepada siapa saja yang ia kehendaki; dan segala
sesuatu yang kamu dermakan itu akan digantiNya, karena Ialah sebaik-baik
memberi rizki itu, (Saba’:39). Dan mereka memberi makanan yang amat disukainya
kepada orang miskin, anak yatim dan orang-orang tawanan. (Al-Ihsan: 8).
Dan orang-orang yang membelanjakan sebagian dari apa-apa
yang kami telah kurniakan kepada mereka; dan binatang qurban itu, Kami jadikan
dia buat kamu….,maka apabila sembelihan itu telah mati, makanlah dirinya dan
berilah makan kepada para fakir yang menjaga kehormatannya serta fakir yang
meminta, demikianlah kami persembahkan binatang sembelihan itu buat kamu, agar
kalian bersyukur. (Al-Hajj: 35-36). Konsep persamaan untuk menikmati
pemberianNya ini menumbuhkan dasar-dasar pemerataan dalam sistem perekonomian
Islam. Karena bagi mereka yang berkecukupan atau mampu dibebani oleh “tanggung
jawab moral” untuk turut menanggulangi beban penderitaan yang menghimpit
mereka, anak yatim-piatu, orang miskin, fakir, budah/hamba sahaya, orang yang
kehilangan/habis perbekalannya dalam suatu perantauan/perjalanan, mereka yang
meminta-minta/gelandangan, dan yang sejenisnya. Karena mereka pun adalah
manusia yang sama seperti kita. Mereka membutuhkan pula sandang pangan dan
papan seperti layaknya kita. Dan mereka pun ingin menikmati secercah harapan
dalam hidup dan kehidupan ini.
Tanggung jawab moral ini tentu tidak akan terasa, bahkan
diabaikan begitu saja bagi mereka yang menganggap shodaqoh/sedekah dan zakat
ini akan mengurangi keuntungan dan hartanya. Mereka inilah yang oleh Allah
disebut sebagai orang yang bakhil dan kikir.
Sesungguhnya penghidupan dunia ini hanyalah suatu permainan
dan buaian, tapi jika kamu beriman dan berbakti, Ia akan memberikan balasan
pahala bagimu dan tidak meminta hartamu. Jika ia meminta hartamu dengan
sungguh-sungguh, niscaya kamu akan menjadi bakhil dan kekikiranmu itu akan
menampakkan kebencianmu untuk menjalankan/membelanjakannya di jalan Allah. Nah,
sekarang kamu adalah orang-orang yang diajak untuk membelanjakan hartamu di
jalanNya, tapi diantara kamu ternyata ada yang kikir, padahal barang siapa yang
kikir, maka tidaklah ia bakhil melainkan untuk dirinya sendiri, sedang Allah
itu tidak memerlukanmu, tapi sebaliknya kamulah yang memerlukanNya; dan jika
kamu berpaling, Allah akan mengganti satu kaum/golongan yang lain yang berbeda
denganmu, kemudian mereka tidak menjadi seperti layaknya kamu. (lihat QS.
Muhammad : 36-38). Apakah kamu takut menjadi miskin, lantaran mengeluarkan
sedekah sebelum datang bisikanmu. Ketahuilah, sekiranya kamu tidak mengerjakan
hal itu karena tidak mampu, maka Allah telah memaafkanmu, karena itu dirikanlah
shalat dan keluarkanlah zakat, taatlah kepada Allah dan RasulNya, karena Allah
itu Maha Mengetahui semua perbuatanmu. (Al-Mujadilah : 13).
Dalam surah Al-Taghabun ayat 15 dinyatakan, bahwa
sesungguhnya harta-harta kamu dan anak-anak kamu itu tidak lain, karena di sisi
Allah ada ganjaran besar yang lebih baik dari semua itu.
Ajaran-ajaran luhur Islam ini seharusnya menjadi motivasi
semua tindakan dan peraturan yang berkaitan dengan sistem sosio-ekonomi kita,
dan bukannya meninggalkan ajaran berbasis pemerataan dan keadilan sosial ini,
sebuah tindakan sistem ekonomi kapitalisme yang kejam yang selama ini justru
semakin digalakkan negara ini di berbagai bidang dan mengesampingkan
kesejahteraan masyarakat negara ini yang dari tahun ke tahun semakin merosot
kondisi perekomiannya menuju kefakiran. Ingat kefakiran yang berlebihan
merupakan pangkal dari munculnya kekafiran. Lihat saja berbagai gejala
kekafiran yang sudah mulai banyak bermunculan di negara ini, semakin banyak
kerusuhan, pelanggaran HAM dan banyak lagi hal buruk yang seakan sah-sah saja
padahal jelas-jelas melanggar prinsip-prinsip kemanusiaan.
No comments:
Post a Comment