Wednesday, December 5, 2012

DIALEKTIKA HUKUM DAN MORAL


DIALEKTIKA HUKUM DAN MORAL
Oleh: Agussalim Andi Gadjong

            Pola hubungan hukum dan moral dalam konteks ini tidak banyak dikaji dan diperbincangkan karena terdesak oleh gagasan sekulerisasi agama dan positivisme moral yang berlandaskan kepada tradisi. Akibatnya, gagasan-gagasan  tidak berkembang dan berpengaruh terhadap pemikiran-pemikiran hukum positif dan pemikiran-pemikiran hukum. Tetapi jika kita berpendapat seperti para ahli teori hukum alam, yaitu hukum adalah benar-benar hukum jika dia tidak bertentangan dengan moralitas, maka kita harus pula mengatakan bahwa undang-undang atau sistem hukum yang tampaknya ada tetapi tidak bermoral sebenarnya tidak “ada” sebagai hukum atau jika undang-undang atau sistem hukum semacam itu benar-benar merupakan hukum, maka dia pastilah bisa diterima dari segi moral. Hal ini tampaknya kurang persuasif.


Kedua, hukum merupakan derivasi dari prinsip-prinsip atau kaidah-kaidah moral umum. Artinya, hukum merupakan penjabaran dari prinsip-prinsip moral suatu ajaran atau idiologi.

Ketiga, ada titik singgung antara hukum dan moral. Hukum mempunyai hubungan yang sangat erat dengan moral karena kedua kaidah tersebut sama-sama mengatur tingkah laku manusia. Adakalanya perbuatan yang dilarang oleh moral dilarang pula oleh hukum, namun sebaliknya kadangkala perbuatan yagn dilarang oleh moral tidak dilarang oleh hukum dan apa yang dilarang oleh hukum tidak dilarang oleh moral. Pada mereka yang tidak membuat pembedaan yang tajam antara hukum dan moral, kita lihat bahwa kedua sistem kaidah itu sering dikemukakan sebagai dua tatanan yang untuk sebagian saling bertumpang tindih.

     Walaupun ada persesuaian antara hukum dan moral tetapi tak ada identitas. Mengenai problem ini ada tiga penyelesaian. Pertama, hukum dan moral  harus berdampingan, oleh karena moral pokok dari hukum. Kedua, bahwa bermoral artinya mengikuti hukum pemerintah dan Hegel (1770-1831) yang menyatakan bahwa tidak ada moral yang lebih tinggi daripada patuh kepada hukum dan hukum ada bidangnya, dan moral lebih tinggi dari hukum, baik yang dinamakan natural law, atau yang berasal dari Tuhan atau dari alam. Ketiga, masing-masing dari Hukum dan moral ada bidangnya sendiri yang tidak mempunyai hubungan satu dengan lainnya. Inilah yang dinamakan Legal Positivism.

    Diskursus hubungan hukum dan moral dalam perspektif pemikiran hukum terpola pada pertentangan pemikiran antara positivisme dengan hukum kodrat. Pokok permasalahannya berkenaan dengan keabsahan suatu aturan hukum (legalitas) sehingga mengikat warga masyarakat. Namun hubungan hukum dan moral tidak terbatas pada persoalan itu, tapi juga berkaitan dengan relasi fungsional yang bersifat resiprokal antara hukum dan moral.Baik dalam proses pembentukan dan penegakan  hukum, maupun dalam pengembangan dan penegakan moral.., dan peranan hukum dalam pembentukan moralitas masyarakat.

     Ada empat macam pola hubungan hukum dan moral. Pertama, hukum merupakan bagian dari satu sistem ajaran moral. Artinya, hukum hanya sebagai salah satu subsistem ajaran agama atau idiologi atau tradisi masyarakat. Aspek lain dari ajaran agama meliputi teologi, ritual, politik dan ekonomi. Ajaran moral adalah prinsip-prinsip, dokrtin-doktrin, dan kaidah-kaidah moral yang terdapat dalam berbagai agama, idiologi, dan tradisi masyarakat. Dengan demikian, hukum-hukum yang bersumber pada agama merupakan bagian dari sistem sosial agama. Hukum Islam (syariah) merupakan bagian dari agama Islam, dan hukum yahudi merupakan bagian dari agama Yahudi. Hukum Islam terdiri dari berbagai subsistem hukum, yaitu hukum pidana (jinayah), hukum kenegaraan (assiyasah), hukum keperdataan (muamalah), hukum waris (faroid).

Dalam konteks ini, agama, idiologi, dan tradisi dipahami sebagai satu sistem sosial yang utuh untuk mengatur dan mengorgainsasikan kehidupan masyarakat. Kedudukan hukum hanya sebagai salah satu subsistem dari sitem agama atau idiologi atau tradisi yang terdapat dalam masyarakat.

          Keempat, tidak ada hubungan antara hukum dengan moral, karena kedua bidang itu bukan hanya dua hal yang terpisah, tapi juga dua aspek yang berbeda. Terpisahnya hukum dan moral dapat digambarkan dalam skema dua lingkaran yang tidak mempunyai titik singgung, lingkaran yang satu adalah moral dan lingkaran yang satunya lagi ialah hukum. Pola hubungan hukum dan moral yang keempat ini mewakili pandangan positivisme.

Menurut teori positivis tentang hukum, tidak ada hubungan tertentu antara hukum dan moralitas. John Austin memberikan formulasinya yang teekenal: “Keberadaan hukum berbeda dari kebaikan atau keburukan hukum.” Teori-teori nonpositivis tentang hukum biasanya merupakan versi tertentu dari teori hukum alam (natural –law) tentang hukum, yang mengatakan bahwa ada hubungan tertentu antara hukum dan moralitas.

            Perbedaan kaidah hukum dan kaidah moral, menurut van Apeldorn, ada lima macam. Pertama, kaidah hukum dan kaidah moral memiliki perbedaan tujuan. Hukum bertujuan untuk menciptakan ketertiban dan ketenteraman masyarakat, sedangkan moral mempunyai tujuan untuk menyempurnakan kehidupan pribadi seseorang.

            Tercapainya tujuan kaidah moral secaratidak langsung akan membawa pengaruh terhadap upaya pencapaian tujuan kaidah hukum karena pribadi yang baik cenderung menaati aturan-atuaran hukum yang merupakan pedoman bagi setiap manusia dalam kehidupan masyarakat.

            Kedua, perbedaan dalam aspek isi aturan. Kaidah hukum mengatur perbuatan-perbuatan lahir manusia, artinya hukum memusatkan fokus pengatuarannya kepada sikap dan prilaku lahiriah, bukan kepada sikap batin manusia. Dalam hal ini hukum menganut asas “cogitationis poenam nemo patitur”, yang berarti “tak sesorangpun dapat dihukum untuk apa yang dipikirkannya”. Sebaliknya, kaidah moral mengatur sikap batin manusia yang menjadi motif perbuatan lahiriah.

            Ketiga, perbedaan mengenai asal usul kaidah. Menurut Immanuel Kant, kaidah hukum bersifat heteronom, sedangkan moral bersifat otonom. Sifat heteronom kaidah hukum mengandung arti bahwa kekuasaan dari luarlah yang memaksakan kehendaknya kepada manusia, yaitu kekuasaan masyarakatatau negara. Orang tunduk kepada hukum karena ada kekuasaan yang memaksa mereka untuk taat tanpa syarat.

            Sedangkan sifat otonom kaidah moral mengandung arti bahwa perintah moral berdasarkan kehendak seseorang terhadap dirinya sendiri. Tiap-tiap orang harus menentukan menurut suara hatinya, apakah yang dituntut moral terhadap dirinya sendiri. Kaidah moral ditaati oleh manusia karena dorongan kehendak (kesadaran) diri sendiri.

            Keempat, perbedaan dalam instrumen penegakannya. Moral berakar dalam suara hati manusia, dari kekuatan batin yang terdapatdalam diri manusia. Ketaatan kepada kaidah moral bersifat sukarela. Satu-satunya kekuasaan yang menyokong moral adalah kekuasaan suara hati manusia. Ketaatan kepada kaiadah hukum tidak hanya ditopang oleh kekuatan batin dari suara hati manusia, melainkan terutama dipaksakan oleh alat-alat kekuasaan lahir. Dengan demikian, hukum  mempunyai dua kekuatan mengikat, yakni kekuatan mengikat lahir dan kekuatan mengikat batin.
           Akhirnya,  perbedaan dalam daya kerjanya. Kaiadah hukum bukan hanya membebankan kewjiban kepada manusia (normatif), tapi juga memberikan kekuasaan (atributif). Sedangkan kaidah moral hanaya membebanan kewajiban saja kepada manusia, artinya semata-mata bersifat normatif. Di samping itu, kaidah hukum dan kaidah moral juga mempunyai perbedaan dalam lingkup pengaturannya. Kaidah hukum adalah aturan untuk mengatur  kehidupan bermasyarakat, sedangkan moral merupakan kaidah untuk mengatur kehidupan pribadi manusia. Perbedaan lainnya berkenaan dengan sifat universalitas yang menjadi ciri kaidah moral, dan sifat nasionalitas yang menjadi karakteristik hukum.


Pondok Kacang, Tangerang,25 Nopember 2012

1 comment:

bisotisme.com said...

hukum positif ada dalam unddang-undang, undang-undang adalah produk legislatif, legislatif adalah orang-orang partai dengan kepentingan tertentu, bahasnya bagaimana kalau dikaitkan dengan moral?