PERBANDINGAN
HUKUM EROPA KONTINENTAL DAN HUKUM ANGLO SAXON
1.
Sejarah Sistem Hukum Eropa Kontinental
" Pasal 1365 BW berbunyi, “Tiap perbuatan melanggar hukum yang menimbulkan kerugian pada orang lain, mewajibkan pembuat yang bersalah untuk meng¬ganti kerugian” Di negara-negara Eropa Kontinental, perbuatan melawan hukum atau disingkat PMH dikenal dengan istilah ”onrechtmatige daad” atau Aglo Saxon dengan ”tort” yang pengertiannya berkembang terus menerus, tidak hanya yang dilakukan oleh orang perorangan, akan tetapi juga badan hukum termasuk oleh penguasa."
Asal
usul sistem Hukum Eropa Kontinental berasal dari Hukum Romawi Kuno sebagai
modalnya. Sistem hukum ini muncul pada abad ke ketiga belas di Jerman dan sejak
saat itu senantiasa mengalami perkembangan, perubahan, atau menjalani suatu
evolusi. Selama evolusi ini yang mengalami penyempurnaan yaitu menyesuaikan
kepada tuntutan dan kebutuhan masyarakat yang berubah sehingga disebut juga
sistem Hukum Romawi Jerman.Pengkajian
hukum Romawi di universitas menjadikan hukum romawi sebagai hukum yang
dimodernisasi untuk menghadapi zamannya. Dalam pengkajian ini didominasi oleh
pemikiran mazhab hukum alam. Sistem hukum eropa kontinental cenderung
aksiomatik dan kepada hukum yang dibuat secara sadar oleh manusia atau hukum
perundang-undangan. Sistem hukum ini mula-mula berlaku di daratan eropa barat
yaitu di Jerman kemudian ke Prancis dan selanjutnya ke Belanda kemudian di
negara-negara sekitarnya. Belanda yang pernah menjajah bangsa Indonesia membawa
sistem hukum ini dan memberlakukannya di seluruh wilayah jajahannya. Sistem
hukum ini memiliki segi positif dan negatif. Segi positifnya adalah hampir
semua aspek kehidupan masyarakat serta sengketa-sengketa yang terjadi telah
tersedia undang-undang/hukum tertulis, sehingga kasus-kasus yang timbul dapat
diselesaikan dengan mudah, disamping itu dengan telah tersedianya berbagai
jenis hukum tertulis akan lebih menjamin adanya kepastian hukum dalam proses
penyelesaiannya. Sedang segi negatifnya, banyak kasus yang timbul sebagai
akibat dari kemajuan zaman dan peradaban manusia, tidak tersedia
undang-undangnya. Sehingga kasus ini tidak dapat diselesaikan di pengadilan.
Hukum tertulis pada suatu saat akan ketinggalan zaman karena sifat statisnya. Oleh karena itu, sistem hukum ini tidak menjadi dinamis dan penerapannya
cenderung kaku karena tugas hakim hanya sekedar sebagai alat undang-undang.
Hakim tak ubahnya sebagai abdi undang-undang yang tidak memiliki kewenangan melakukan
penafsiran guna mendapatkan nilai keadilan yang sesungguhnya.
2.
Sejarah Sistem Hukum Anglo Saxon
David
dan Brierly (dalam Soerjono Soekanto, 1986 : 302) membuat periodisasi Common
Law ke dalam tahapan sebagai berikut: 1.Sebelum Penaklukan Norman di
tahun 1066; 2.Periode kedua membentang dari
1066 sampai ke penggabungan Tudors (1485). Pada periode ini berlangsunglah
pembentukan Common Law, yaitu penerapan sistem hukum tersebut secara luas
dengan menyisihkan kaidah-kaidah lokal;
3. Dari tahun 1485 sampai 1832.
Pada periode ini berkembanglah suatu sistem kaidah lain yang disebut “kaidah
equity”. Sistem kaidah ini berkembang di samping Common Law dengan fungsi
melengkapi dan pada waktu-waktu tertentu juga menyaingi Common Law.
4. Dari tahun 1832 sampai sekarang.
Ini merupakan periode modern bagi Common Law. Pada periode ini ia mengalami
perkembangan dalam penggunaan hukum yang dibuat atau perundang-undangan. Ia
tidak bisa lagi hanya mengandalkan pada perkembangan yang tradisional. Untuk
menghadapi kehidupan modern, Common Law semakin menerima campur tangan
pemerintah dan badan-badan administrasi.
Common
law, berbeda dengan kebiasaan yang berlaku lokal, adalah hukum yang berlaku
untuk dan di seluruh Inggris. Tetapi keadaan atau deskripsi yang demikian itu belum
terjadi pada tahun 1066, seperti dapat dilihat pada periodisasi di muka. “The
assemblies of free men” yang disebut Country of Hendred Courts hanya menerapkan
kebiasaan-kebiasaan lokal. Pembinaan suatu hukum yang berlaku untuk seluruh
negeri merupakan karya yang semata-mata dilakukan oleh the royal courts of
justice, biasanya disebut The Courts of Westminster. Nama ini dipakai sesuai
dengan tempat mereka bersidang sejak abad ketiga belas.
Kekuasaaan raja sebagai hakim
yang memegang kedaulatan bagi seluruh negeri makin bertumbuh. Lambat laun
rakyat memandang ke pengadilan kerajaan itu lebih dari pengadilan-pengadilan
yang lain dan membawa sengketanya ke royal courts tersebut. Didorong oleh
kebutuhan, maka pengadilan raja itupun mengembangkan prosedur modern dan
menyerahkan penyelesaian perkara kepada pertimbangan juri. Sementara itu
pengadilan-pengadilan lain tetap menggunakan prosedur yang sudah kuno. Secara
pelan-pelan pengadilan kerajaan memperluas yurisdiksinya dan pada penghujung
abad pertengahan, ia pada kenyataannya merupakan satu-satunya pengadilan di
Inggris. Pengadilan feodal, seperti juga the Hundred Courts, makin menghilang;
pengadilan setempat dan pengadilan dagang hanya menangani kasus-kasus kecil;
pengadilan gereja hanya mengurusi perkara yang berhubungan dengan agama dan
disiplin para pejabat gereja.
Sistem hukum ini berkembang
dan berlaku pada negara-negara bekas jajahan Inggris, terutama di Amerika
Serikat namun tetap dipengaruhi oleh keadaan sistem sosial yang dianut oleh
masing-masing negara jajahan tersebut.
Sistem hukum ini mengandung
kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya hukum anglo saxon yang tidak tertulis
ini lebih memiliki sifat yang fleksibel dan sanggup menyesuaikan dengan
perkembangan zaman dan masyarakatnya karena hukum-hukum yang diberlakukan
adalah hukum tidak tertulis (Common law). Kelemahannya, unsur kepastian hukum
kurang terjamin dengan baik, karena dasar hukum untuk menyelesaikan
perkara/masalah diambil dari hukum kebiasaan masyarakat/hukum adat yang tidak
tertulis.
3.
Perbedaan Sistem Hukum Eropa Kontinental dengan Sistem Anglo Saxon
Berdasarkan uraian singkat
tersebut di atas, dapat ditarik beberapa perbedaan antara sistem
hukum eropa
kontinental dengan sistem anglo saxon sebagai berikut
1.Sistem hukum eropa kontinental
mengenal sistem peradilan administrasi, sedang sistem hukum
anglo saxon hanya
mengenal satu peradilan untuk semua jenis perkara.
2.Sistem hukum eropa
kontinental menjadi modern karena pengkajian yang dilakukan oleh
perguruan
tinggi sedangkan sistem hukum anglo saxon dikembangkan melalui praktek prosedur
hukum.
3.Hukum menurut sistem hukum eropa kontinental adalah suatu sollen bulan sein
sedang menurut
sistem hukum anglo saxon adalah kenyataan yang berlaku dan
ditaati oleh masyarakat.
4.Penemuan kaidah dijadikan pedoman dalam pengambilan keputusan atau penyelesaian
sengketa,
jadi bersifat konsep atau abstrak menurut sistem hukum eropa
kontinental sedang penemuan kaidah
secara kongkrit langsung digunakan untuk
penyelesaian perkara menurut sistem hukum anglosaxon.
5.Pada sistem hukum eropa kontinental tidak dibutuhkan lembaga untuk mengoreksi
kaidah sedang
pada sistem hukum anglo saxon dibutuhkan suatu lembaga untuk
mengoreksi, yaitu lembaga
equaty. Lembaga ibi memberi kemungkinan untuk
melakukan elaborasi terhadap kaidah-kaidah
yang ada guna mengurangi ketegaran.
6.Pada sistem hukum eropa kontinental dikenal dengan adanta kodifikasi hukum
sedangkan pada
sistem hukum anglo saxon tidak ada kodifikasi.
7.Keputusan hakim yang lalu (yurisprudensi) pada sistem hukum eropa kontinental
tidak dianggap
sebagai akidah atau sumber hukum sedang pada sistem hukum anglo
saxon keputusan hakim
terdahulu terhadap jenis perkara yang sama mutlak harus
diikuti.
8.Pada sistem hukum eropa kontinental pandangan hakim tentang hukum adalah lebih
tidak tekhnis,
tidak terisolasi dengan kasus tertentu sedang pada sistem hukum
anglo saxon pandangan hakim
lebih teknis dan tertuju pada kasus tertentu.
9.Pada sistem hukum eropa kontinental bangunan hukum, sistem hukum, dan
kategorisasi hukum
didasarkan pada hukum tentang kewajiban sedang pada sistem
hukum anglo saxon kategorisasi
fundamental tidak dikenal.
10.Pada sistem hukum eropa kontinental
strukturnya terbuka untuk perubahan sedang pada sistem
hukum anglo saxon
berlandaskan pada kaidah yang sangat kongrit.
4.Sistem Hukum Indonesia
Sejak Indonesia merdeka tahun 1945 lalu, secara pasti
Indonesia belum memiliki sistem hukumnya
sendiri. Hukum-hukum yang berlaku
sesaat setelah Indonesia merdeka, dinyatakan oleh Pasal II
Aturan Peralihan UUD
1945 yaitu memberlakukan hukum-hukum warisan kolonial Belanda.
Kebijakan ini
semula dimaksudkan untuk berlaku sementara sambil menunggu hukum nasional
ciptaan bangsa Indonesia sendiri. Namun demikian, hingga sekarang hukum warisan
kolonial masih
berlaku. Hal lain yang mendasari pendapat tentang sistem hukum
Indonesia terlihat ketika
terjadinya pergantian UUD/konstitusi negara selama
empat kali (UUD 1945, Konstitusi RIS, UUDS
1950 dan kembali ke UUD 1945).
Pergantian UUD tersebut sekaligus mempengaruhi sistem hukum
yang berlaku,
karena pada dasarnya berlakunya sistem hukum dipengaruhi oleh UUD/konstitusi
negara yang bersangkutan.
Memotret sistem hukum yang berlaku di Indonesia saat ini, akan ditemukan 4
komponen (4 sub
sistem hukum) penting yang keberadaannya saling melengkapi satu
sama lain. Keempat
sub sistem
tersebut masing-masing memiliki ciri sendiri, tetapi dalam geraknya
saling mempengaruhi bahkan
memperteguh satu sama lainnya.
Keempat sub sistem tersebut
adalah :
1. Hukum Nasionai,
2. Hukum Barat,
3. Hukum Islam,
4. Hukum Adat/kebiasaan.
Hukum nasionai adalah hukum
yang dibuat secara formal oleh pemerintah/lembaga pembentuk
UUsejak pasca
kemerdekaan Republik Indonesia. Hukum ini bentuknya tertulis dan
mempunyai
tingkatan sebagaimana hierarki perundang-undangan. Sejak proklamasi
kemerdekaan Rl 17 Agustus
1945, era pemerintahan orde baru yang paling banyak
membuat hukum-hukum nasional. Meskipun
secara de-fakto dan
de-yure Indonesia telah merdeka, tetapi sebagian hukum yang diberlakukan
masih
berbau barat (terutama Eropa). Adanya hukum-hukum warisan kolonial Belanda yang
hingga
sekarang masih berlaku, membuktikan bahwa dalam struktur dan sistem
hukum kita masih terdapat
“ruh” hukum barat. Hukum-hukum tersebut dalam
praktiknya sangat berpengaruh dalam usaha
penyusunan hukum nasional. Mayoritas
warga negara Indonesia beragama Islam. Karena itu,
hukum Islam mempunyai
pengaruh besar dalam penyusunan hukum-hukum nasional. Dalam UU
No. I Tahun 1974
tentang Perkawinan dan UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama,
isi/muatannya banyak dipengaruhi hukum Islam. Demikian pula dengan berlakunya
Kompilasi
Hukum Islam sebagai dasar penyelesaian kasus-kasus orang Islam.
Meskipun demikian dalam sistem
konstitusi Indonesia, tidak dikenal bahwa
Indonesia sebagai negara Agama (Islam), meskipun urusan
umat agama juga diatur
oleh negara (dengan adanya Departemen Agama). Hal ini menunjuk pada
pengertian
bahwa Indonesia bukan sebagai “negara sekuler”, yaitu negara yang melepaskan
urusan
agama dengan urusan pemerintah/negara.
Hukum adat/kebiasaan yang
hidup dalam komunitas masyarakat, juga mempunyai pengaruh besar
dalam mewarnai
berlakunya hukum di Indonesia. Bahkan, keberadaan hukum adat/kebiasaan ini
telah ditempatkan sebagai sumber pembentukan hukum nasional. Hal ini terlihat
jelas dalam politik
hukum Indonesia sebagaimana selalu termuat dalam GBHN.
Hanya saja karena hukum adat ini
sangat beragam, maka upaya mencari bahan
{sharing) yang dapat diberlakukan secara nasional
sangatlah tidak gampang.
Keempat sub sistem hukum
tersebut di atas telah mewarnai berlakunya hukum di Indonesia sejak
bangsa ini
mencapai kemerdekaannya. Hanya sa)a, banyak kalangan berpendapat bahwa hingga
saat
ini bangsa kita belum menemukan format yang jelas tentang model
pengembangan hukumnya.
Keempat sub sistem hukum di atas, sama-sama mempunyai
pengaruh besar dalam penyusunan
hukum yang benar benar persuasif dan
berkeadilan sosial. Oleh karenanya, banyak ahli berpendapat
bahwa usaha
penyusunan hukum Nasional melalui strategi atau politik hukum Indonesia,
pembentuk
UU seringkali dihadapkan pada situasi “cross road”, di mana pembentuk
UU ditempatkan pada
posisi ‘bingung’. Apakah bersumber pada hukum adat
sebagaimana amanat GBHN ? Ataukah
bersumber pada hukum Islam dan hukum barat.
Semua mengandung kelebihan juga kelemahan.
5. Solusi Pembangunan Sistem
Hukum Indonesia
Sebagai
jalan keluar dari kondisi keterpurukan sistem hukum sekarang ini adalah tetap
menempuh
metode klasik yang sudah sering dikedepankan oleh para pakar dan
pengamat bidang hukum seperti
pembenahan institusi dan aparatur hukum yang
meliputi Mahkamah Agung, Departemen
Kehakiman dan HAM (Hakim), Kejaksaan
(Jaksa), Kepolisian (Polisi) dan Kepengacaraan
(Pengacara). Pembenahan harus
dilakukan secara drastis kalau perlu mengganti semua sosok-sosok
aparatur yang
disebut Achmad Ali sebagai ‘the dirty broom’. Disamping itu ada beberapa hal
yang
perlu didiskusikan yaitu penetapan kembali arah kebijakan dibidang hukum,
apakah masih berputar
pada upaya unifikasi dan kodifikasi hukum, ataukah
membiarkan pluralisme hukum berjalan
sebagaimana adanya. Diskusi ini akan
menjadi menarik bila kita hubungkan dengan bagaimana
membentuk dan membangun
sistem hukum secara sistemik dan terprogram sehingga seperti kata
Sunarjati
Hartono kita jangan terjebak dalam rutinitas penegakan hukum semata, tetapi
lupa dengan
hal yang lebih penting yaitu pembangunan hukum.
Dengan semakin dekatnya
dimensi kuantitas dan kualitas kejahatan dan pelanggaran terhadap
hukum, dan
berkembangnya bidang-bidang hukum baru yang selama ini tidak dikenal, maka
sepantasnya kita merenungkan kembali untuk memperbaharui sistem hukum kita.
Apakah sistem
hukum kita ini sekarang masih sesuai dengan kondisi masyarakat
kita ataukah mungkin kita
mengganti sistem hukum kita dengan mengganti UUD RI
1945 sebagaimana diusulkan oleh Prof.
Harun Al-Rasyid apakah kita mampu
mengubah wajah hukum kita menjadi hukum yang lebih
partisipatoris. Ini adalah
tugas berat bagi kita semua dan merupakan beban bangsa ini untuk sama
sama
menyadari dan mengilhami bahwa harus ada perbaikan segera. Almarhum Padmo
Wahyono
pernah mengatakan bahwa pembuatan dan mengadaan konsep-konsep hukum
haruslah erat
kaitannya dengan masyarakat dimana hukum itu berlaku sehingga
tidak menciptakan tata hukum
yang ditumbuhkan berdasarkan nalar machtloze
normlogiek, tata hukum tanpa keadilan dan
kewibawaan. Dengan demikian, kita
tidak mengulangi kesalahan lama yaitu merumuskan konsep
hukum dengan gaya,
bentuk, isi dan jiwa asing sekadar terjemahan dari sekumpulan istilah asing
belaka. Pembangunan bidang hukum harus mampu mengarahkan dan menampung
kebutuhan
kebutuhan hukum sesuai dengan kesadaran hukum rakyat yang berkembang
kearah modernisasi
menurut tingkat kemajuan pembangunan di segala bidang
sehingga tercapai ketertiban dan kepastian
sebagai prasarana yang harus
ditujukan kearah peningkatan pembinaan kesatuan bangsa, sekaligus
berfungsi
sebagai sarana menunjang perkembangan modernisasi dan pembangunan yang
menyeluruh.
Pembangunan bidang hukum
dilakukan tidak saja dengan jalan meningkatkan atau
menyempurnakan substansi
hukum, tetapi juga menertibkan fungsi lembaga dan institusi hukum
serta meningkatkan
kemampuan dan kewibawaan penegak hukum. Singkatnya, solusi yang dapat
diambil
dalam usaha pembinaan sistem hukum nasional adalah setiap bidang hukum
diperlukan
keterpaduan dan keselarasan antara pembentuk hukum, pengadilan,
aparat penegak hukum, aparat
pelayanan hukum, profesi hukum dan masyarakat agar
supaya pada akhirnya peraturan perundang
undangan, yurisprudensi dan hukum
kebiasaan akan menjadi satu kesatuan yang terpadu. Oleh
sebab itu untuk setiap
bidang hukum itu sendiri diperlukan suatu rencana pengembangan dan
organisasi
yang mengarahkan dan mengsinkronkan semua usaha oleh masing-masing pelaku dalam
proses pembentukan sistem hukum nasional. Periotas upaya yang segera dilakukan
adalah
peningkatan kualitas manusia hukum in casu pembentuk, penyelenggara dan
masyarakat hukum
yang didukung oleh pengadaan sarana dan prasarana untuk
menyelenggarakan proses internal dari
setiap komponen sistemnya dan untuk
menyelenggarakan proses sistem hukum secara global.
SUMBER DATA : silahkan diklik siapa inspirasiku selama ini .....!!!
No comments:
Post a Comment