HUKUM ACARA
PTUN DAN SUBYEK OBYEKNYA
Hukum Acara PTUN adalah: seperangkat
peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap
dan dimuka pengadilan, serta cara pengadilan bertindak satu sama lain untuk
menegakkan peraturan HAN (materiil). Hukum Acara PTUN dapat pula disebut dengan
Hukum Acara Peradilan Administrasi Negara.
Secara sederhana Hukum Acara diartikan
sebagai Hukum Formil yang bertujuan untuk mempertahankan Hukum Materil. Hal-hal
yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya di atas, merupakan
ketentuan-ketentuan tentang Hukum Materil di Peratun. Sementara itu mengenai
Hukum Formilnya juga diatur dalam UU No. 5 tahun 1986 Jo. UU No. 9 Tahun 2004,
mulai dari Pasal 53 s/d Pasal 132.Penggabungan antara Hukum Materil dan Hukum
Formil ini merupakan karakteristik tersendiri yang membedakan Peradilan TUN
dengan Peradilan lainnya. Untuk mengantarkan pada pembahasan tentang Hukum
Acara di Peratun ini, terlebih dahulu akan diuraikan hal-hal yang merupakan
ciri atau karakteristik Hukum Acara Peratun sebagai pembeda dengan Peradilan
lainnya, khususnya Peradilan Umum (Perdata) Sengketa Tata Usaha Negara dikenal
dengan dua macam cara antara lain: Melalui Upaya Administrasi (vide pasal 48 jo
pasal 51 ayat 3 UU no. 5 tahun 1986) Upaya administrasi adalah suatu prosedur
yang dapat ditempuh dalam menyelesaikan masalah sengketa Tata Usaha Negara oleh
seseorang atau badan hokum perdata apabila ia tidak puas terhadap suatu
Keputusan tata Usaha Negara, dalam lingkungan administrasi atau pemerintah
sendiri. Bentuk upaya administrasi:
1.
Banding
Administratif, yaitu penyelesaian upaya administrasi yang dilakukan oleh
instansi atasan atau instansi lain dari yang mengeluarkan Keputusan yang
bersangkutan.
2.
Keberatan,
yaitu penyelesaian upaya administrasi yang dilakukan sendiri oleh Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan itu. II. Melalui Gugatan
(vide pasal 1 angka 5 jo pasal 53 UU no. 5 tahun 1986) Apabila di dalam
ketentuan perundang-undangan yang berlaku tidak ada kewajiban untuk
menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara tersebut melalui Upaya Administrasi,
maka seseorang atau Badan Hukum Perdata tersebut dapat mengajukan gugatan ke
Pengadilan Tata Usaha Negara. Sengketa TUN : Sengketa yang timbul dalam bidang
TUN antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat TUN, baik
di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya KTUN, termasuk
sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Badan
atau pejabat TUN : Badan atau pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan
(bersifat eksekutif) berdasarkan peraturan yang berlaku.
a.
Tujuan
pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara menurut keterangan pemerintah pada saat
pembahasan RUU PTUN adalah:
memberikan perlindungan terhadap hak-hak rakyat yang bersumber dari hak-hak individu
memberikan perlindungan terhadap hak-hak rakyat yang bersumber dari hak-hak individu
b.
memberikan
perlindungan terhadap hak-hak masyarakat yang didasarkan kepada kepentingan
bersama dari individu yang hidup dalam masyarakat tersebut. (keterangan
pemerintah pada Sidang Paripurna DPR RI. mengenai RUU PTUN tanggal 29 April
1986).
Menurut Sjahran Basah (1985;154), Tujuan
peradilan administrasi adalah untuk memberikan pengayoman hukum dan kepastian
hukum, baik bagi rakyat maupun bagi administrasi negara dalam arti terjaganya
keseimbangan kepentingan masyarakat dan kepentingan individu. SF Marbun
menyoroti tujuan peradilan administrasi secara preventif dan secara
represif.Fungsi Peradilan Tata Usaha Negara adalah sebagai sarana untuk
menyelesaikan konflik yang timbul antara pemerintah (Badan/Pejabat TUN) dengan
rakyat (orang perorang/badan hukum perdata). Konflik disini adalah sengketa
tata usaha negara akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara.
SUBYEK PTUN
1.
Para pihak
yang berperkara di Pengadilan Tata Usaha Negara adalah:
pihak penggugat. Yang dapat menjadi pihak penggugat dalam perkara di Pengadilan Tata Usaha Negara adalah setiap subjek hukum, orang maupun badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan dengan dikeluarkannya keputusan Tata Usaha Negara oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara di Pusat maupun di Daerah (Pasal 53 ayat (1) jo Pasal 1 angka 4 UU no. 5 tahun 1986).
pihak penggugat. Yang dapat menjadi pihak penggugat dalam perkara di Pengadilan Tata Usaha Negara adalah setiap subjek hukum, orang maupun badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan dengan dikeluarkannya keputusan Tata Usaha Negara oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara di Pusat maupun di Daerah (Pasal 53 ayat (1) jo Pasal 1 angka 4 UU no. 5 tahun 1986).
Dalam Kepustakaan hokum tata
usaha Negara yang ditulis sebelum berlakunnya undang-undang Nomor 5 tahun
1986,masih dimungkinkan BUMN atau Pejabat Tata Usaha Negara bertindak sebagai
penggugat tetapi setelah berlakunya Undand-undang Nomor 5 tahun 1986,hal
tersebut sudah tidak dimungkinkan lagi hanya saja untuk BUMN ada yang mempunyai
pendapatbahwa BUMN dapat juga bertindak sebagaipenggugat dalam sengketa Tata
Usaha Negara khusus tentang sertifikat tanah,karna alas hak dari gugatan adalah
hak keperdataan dari BUMN tersebut.
Oleh karna itu unsur kepentingan yang
terdapat dalam pasal 53 ayat (1) sangat penting dan menentukan agar seseorang
atau badan hokum perdata dapat bertindak sebagai badan hokum perdata dapat
sebagai penggugat
2.
pihak
tergugat
Pihak tergugat adalah Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya
atau yang dilimpahkan kepadanya (Pasal 1 angka 6 UU no. 5 tahun 1986). Yang
dimaksud wewenang tersebut adalah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.oleh SF.MARBUN dikemukakan bahwa:menurut hokum administrasi,pengertian
kewenangan adalah kekuasaan yang diformalkan,baik dalam suatu bidang
pemerintahan yang berasal dari kekuasaan legislative atau dari kekuasaan
pemerintah,sedangkan pengertian wewenang hanya onderdil tertentu atau bidang
tertentu.dengan demikian wewenang adalah kemampuan bertindak yang diberikan
undang-undang yang berlaku untuk melakukan hubungan hokum tersebut Apa yang
dimaksud dengan Badan atau Pejabat TUN dalam praktek Peradilan Tata Usaha
Negara selama ini menganut kriteria fungsional. Jadi ukurannya adalah,
sepanjang Badan atau Pejabat TUN tersebut “berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, dan yang dikerjakan berupa kegiatan urusan
pemerintahan”. Sehingga tolok ukurnya adalah asalkan berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku (berdasarkan ketentuan hukum baik
yang tertulis atau yang tak tertulis untuk memenuhi asas legalitas tindakan
pemerintah) dan yang dikerjakan berupa kegiatan urusan pemerintahan
3.
Pihak Ketiga
yang berkepentingan
Selama pemeriksaan berlangsung, setiap orang
yang berkepentingan dalam sengketa pihak lain yang sedang diperiksa oleh
Pengadilan, baik atas prakarsa sendiri dengan mengajukan permohonan, maupun
atas prakarsa Hakim dapat masuk dalam sengketa Tata Usaha Negara, dan bertindak
sebagai: pihak yang membela haknya; atau peserta yang bergabung dengan salah
satu pihak yang bersengketa (pasal 83)
Apabila pihak ketiga yang belum pernah ikut
serta atau diikut sertakan selama waktu pemeriksaan sengketa yang bersangkutan,
pihak ketiga tersebut berhak mengajukan gugatan perlawanan terhadap pelaksanaan
putusan pengadilan tersebut kepada Pengadilan yang mengadili sengketa tersebut
pada tingkat pertama (pasal 118 ayat 1)
OBYEK PTUN
Berdasarkan ketentuan Pasal 53 ayat (1) jo
Pasal 1 angka 4 jo Pasal 3 UU no. 5 tahun 1986, dapat disimpulkan yang dapat
menjadi objek gugatan dalam sengketa Tata Usaha Negara adalah:
1.
Keputusan
Tata Usaha Negara “suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan Hukum Tata Usaha Negara
berdasarkan Peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bersifat konkret,
individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau Badan
Hukum Perdata.” (Pasal 1 angka 3 UU no. 5 tahun 1986). 2. yang dipersamakan dengan
Keputusan Tata Usaha Negara yang dimaksud diatas adalah sebagaimana yang
disebut dalam ketentuan Pasal 3 Uu no. 5 tahun 1986:
2.
Apabila
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan, sedangkan
hal ini menjadi kewajiban, maka hal tersebut disamakan dengan Keputusan Tata
Usaha Negara.
3.
Jika suatu
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan yang dimohon,
sedangkan jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam Peraruran
perundang-undangan dimaksud telah lewat, maka Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan yang dimaksud.
4.
Dalam hal
Peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan jangka waktu
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) : “maka setelah lewat waktu 2 (empat) bulan
sejak diterimanya permohonan, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang
bersangkutan dianggap telah mengeluarkan Keputusan Penolakan.”
No comments:
Post a Comment