Wajah Parlemen Indonesia: Unikameral, Bikameral,
ataukah Trikameral Sebuah Analisis Peran Kamar
dalam Sistem Perwakilan Rakyat
di Indonesia
Eksistensi dari
lembaga perwakilan rakyat (parlemen) di sebuah negara yang menganut trias
politica merupakan sebuah keharusan. Hal ini dilakukan sebagai check and
balances diantara lembaga lain, yaitu eksekutif dan yudikatif. Demikian pula
yang terjadi di Indonesia, dimana terdapat lembaga perwakilan rakyat yang sudah
digagas sebelum masa kemerdekaan Indonesia. Keinginan berparlemen di Indonesia
muncul pada masa kolonial Belanda, dimana pada saat itu terbentuklah Volksraad
(Dewan Rakyat) sebagai sebuah lembaga perwakilan, meskipun pada tataran
prakteknya Volksraad tidak dapat dibilang sebagai lembaga perwakilan rakyat
karena hak-hak sebagai sebuah parlemen tidak bisa terpenuhi. Setelah
kemerdekaan Indonesia, lembaga perwakilan rakyat pun kemudian dilaksanakan oleh
KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) yang pada mulanya komite ini dibentuk
hanya untuk membantu tugas presiden sebelum terbentuk MPR dan DPR (sesuai
dengan Aturan Peralihan Pasal IV UUD 1945). Akan tetapi, muncul
tuntutan-tuntutan agar KNIP diubah fungsinya sebagai lembaga parlemen.
Pertanyaannya disini adalah mengapa harus ada MPR? Padahal sudah ada DPR,
dimana DPR merupakan representasi dari rakyat sesuai dengan namanya. Alasan
dibentuknya lembaga yang disebut sebagai MPR ini adalah karena adanya keinginan
untuk membentuk sebuah lembaga tertinggi negara yang memegang kedaulatan
rakyat, dan di dalam lembaga tertinggi negara ini Presiden memberikan
pertanggungjawabannya. Sedangkan DPR hanya merupakan wadah wakil dari partai
politik saja yang lolos dalam pemilihan umum, tetapi tidak bisa menampung
orang-orang non parpol. Oleh karena itu, DPR belum bisa dikatakan sebagai
perwakilan seluruh rakyat.
Kemudian pada masa RIS, parlemen di Indonesia menganut
sistem bikameral. Hal ini ditunjukkan dengan adanya adanya Senat dan DPR RIS.
Senat mewakili negara-negara bagian sedangkan DPR RIS dianggap mewakili seluruh
rakyat Indonesia. Sistem bikameral ini diterapkan di masa RIS karena pada masa
itu Indonesia merupakan negara federal bukan negara kesatuan. Namun, hal ini
tidak berlangsung lama. Pada masa UUDS 1950, Indonesia kemudian menganut sistem
unicameral, dimana hanya ada satu kamar yaitu MPRS, sesuai dengan Dekrit
Presiden 5 Juli 1950 yang dikeluarkan oleh Presiden Soekarno.
Di masa
kepemimpinan Presiden Soeharto, MPR mempunyai kedudukan sebagai lembaga
tertinggi negara. MPR mempunyai fungsi dan wewenang yang sangat penting. MPR
membuat Garis-Garis Besar Haluan Negara dan juga memilih serta melantik
presiden dan wakil presiden. Anggota MPR ini terdiri dari anggota DPR dan
golongan fungsional yang terdiri dari utusan daerah dan TNI. Pada masa orde
baru ini memang bertekad untuk melaksanakan UUD 1945 secara murni dan
konsekuen. Akan tetapi pada kenyataannya, MPR malah sering dijadikan sebagai
lembaga yang melegitimasi tindakan pemerintah.
Semenjak jatuhnya Presiden Soeharto, maka banyak
tuntutan dari kalangan reformis untuk melakukan juga reformasi di dalam
konstitusi. Tuntutan mereka adalah dilakukannya amandemen terhadap UUD 1945,
yang selama orde baru dianggap suatu hal yang sakral yang tidak boleh
diotak-atik lagi karena merupakan karya para founding parents yang mempunyai
nilai sejarah tak terhingga. Kemudian dilakukanlah amandemen terhadap UUD 1945,
dimana UUD 1945 sebelum diamandemen dianggap terlalu koruptif dan terlalu
otoritarian. Amandemen ini dilakukan sebanyak 4 kali pada periode 1999-2002.
Amandemen UUD 1945 ini pun akhirnya berimplikasi juga terhadap lembaga
perwakilan di Indonesia. Dalam amandemen UUD 1945 tersebut menghasilkan sebuah
lembaga baru yaitu Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Amandemen ini juga mengubah
kedudukan MPR yang dulunya sebagai lembaga tertinggi negara menjadi lembaga
tinggi negara, yang kedudukannya sama dengan lembaga tinggi negara lainnya.
Perubahan terhadap lembaga perwakilan di Indonesia itu
kemudian menimbulkan suatu wacana yang sampai saat ini masih menimbulkan
perdebatan. Apakah yang sebenarnya yang dianut oleh parlemen di Indonesia,
apakah bikameral atau trikameral dengan melihat eksistensi dan fungsi dari tiga
lembaga tinggi negara DPR, DPD, dan MPR tersebut?
Sebelumnya, lebih baik kita menilik sebentar bagaimana
proses amandemen UUD 1945 terkait dengan lembaga perwakilan rakyat di
Indonesia. Perdebatan mengenai lemabga perwakilan ini ada dua hal, yaitu
mengenai kedudukan MPR dan juga adanya pembentukan dua kamar (DPD sebagai
sebuah kamar baru). Mengenai MPR, tekad kuat untuk meniadakan kemungkinan
penyalahgunaan kekuasaan oleh Presiden dengan memanfaatkan MPR sebagai lembaga
yang mempunyai kekuasaan yang tidak terbatas terjadi di dalam proses amandemen
UUD 1945 ini. Oleh karena itu, menurut fraksi-fraksi MPR di Panitia AdHoc III
dan I ingin mereformasi MPR secara total.
Kemudian terjadi perdebatan-perdebatan mengenai MPR.
Pertama, MPR tidak perlu dibentuk sebgai lembaga sebab kewenangannya bersifat
incidental sehingga pimpinan MPR dapat dirangkap secara langsung secara
bergantian oleh pimpinan DPR dan DPD. Kedua, pendapat yang mengatakan masih
perlunya MPR sebagai lembaga dengan pimpinan dan secretariat tersendiri. Alasannya,
Pasal 2 ayat (1) hasil perubahan mengatakan, MPR terdiri dari anggota DPR dan
anggota DPD. Jadi yang bergabung bukan lembaganya tetapi para anggotanya.
Dengan demikian, MPR merupakan lembaga tersendiri. Maswadi Rauf mengusulkan MPR
berubah menjadi semacam join session seperti Congress di Amerika Serikat yang
bertemu dalam waktu tertentu, yaitu bergabung dalam satu rapat gabungan di MPR.
Terkait dengan kedudukan DPD sebagai kamar baru di
dalam UUD 1945 hasil amandemen, pada proses pembentukannya ada juga perdebatan.
Para tim ahli mengusulkan sistem perwakilan dua kamar atau bikameral, dimana
DPR dan DPD memiliki kedudukan yang sama dan sejajar dalam fungsi-fungsinya
sebagai lembaga perwakilan. Prof. Dr. Maswadi Rauf, Prof. Dr. Soewoto
Mulyosudarmo, dan Prof. Dr. Ramlan Surbakti sama-sama mengusulkan agar DPD
sebagai satu kamar kedudukannya sejajar dengan kamar DPR. Lalu, bagaimanakah sebenarnya wajah parlemen di
Indonesia saat ini? Bagaimana kedudukan MPR, DPR, dan DPD sebenarnya, apakah
Indonesia menganut sistem unikameral, bikameral, ataukah trikameral? Untuk
menjawab pertanyaan ini baiknya kita mengetahui dahulu pengertian dari
unikameral, bikameral, dan trikameral ini serta melihat kedudukan MPR, DPR, dan
DPD serta fungsi-fungsinya.
Unikameral terdiri dari satu kamar parlemen, sedangkan
bikameral terdiri dari dua kamar yang masing-masing mempunyai fungsi
sendiri-sendiri. Dalam struktur parlemen nasional pada unikameral tidak dikenal
adanya dua badan yang terpisah seeprti adanya DPR dan Senat, ataupun majelis
tinggi dan majelis rendah. Fungsi dewan atau majelis legislatif dalam sistem
unikameral terpusat pada satu badan legislatif tertinggi dalam struktur negara.
Bikameral biasanya terdiri dari Majelis Rendah dan Majelis Tinggi (yang
kemudian dalam penerapan di negara-negara penganut bikameral, namanya
berbeda-beda, tidak musti Majelis Rendah dan Majelis Tinggi). Salah satu alasan
mengapa negara menganut sistem bikameral ini adalah adanya kebutuhan akan
perlunya suatu keseimbangan yang lebih stabil antara pihak eksekutif dan
legislatif. Trikameral berarti bahwa struktur organisasi parlemen nasional
terdiri atas tiga badan yang masing-masing mempunyai fungsi sendiri-sendiri.
Pada
perkembangannya, bikameral dapat dibagi lagi menjadi beberapa bentuk lagi. Giovanni
Sartori membagi sistem parlemen bicameral menjadi tiga jenis, yaitu sistem
bicameral yang lemah (soft bicameralism), sistem bicameral yang kuat (strong
bicameralism), dan perfect bicameralism. Soft bicameralism terjadi apabila
kekuatan salah satu kamar jauh lebih dominan atas kama lainnya. Sedangkan
strong bicameralism terjadi apabila kekuatan antara dua kamarnya nyaris sama
kuat. Sedangkan perfect bicameralism terjadi ketika kekuatan diantara kedua
kamarnya betul-betul seimbang.
Menurut Arend Lijphart, bahwa ada tiga prasyarat dari
weak bicameralism yaitu wewenang konstitusional kedua kamar, metode pemilihan
anggota, dan kemungkinan kamar kedua memang ditujukan untuk mewakili golongan
minoritas. Dengan demikian kedua kamar memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan
wewenang, serta akan bersatu dalam sebuah joint session untuk menjalankan
fungsi-fungsi tersebut.
Penerapan sistem bikameral itu, dalam prakteknya,
sangat dipengaruhi oleh tradisi, kebiasaan dan sejarah ketatanegaraan negara
yang bersangkutan. Seperti halnya negara federasi, negara kesatuan juga
bertujuan melindungi wilayah tertentu, melindungi etnik dan
kepentingan-kepentingan khusus dari golongan rakyat tertentu (seperti kelompok
kepentingan, golongan minoritas dan sebagainya) dari suara mayoritas (tirani
mayoritas).
Setelah melihat pengertian dari sistem kamar di dalam
parlemen, kemudian kita akan beranjak pada fungsi ataupun tugas dari MPR, DPR,
dan DPD sehingga nantinya kita bisa melihat sebenarnya Indonesia menganut
sistem kamar yang mana. Adapun tugas dari MPR diantaranya adalah mengubah dan
menetapkan UUD, melantik Presiden dan Wakil Presiden berdasarkan pemiliha umum
dalam Sidang Paripurna MPR, memutuskan usul DPR berdasarkan putusan MK untuk
memberhentikan Presiden dan/ atau wakil presiden dalam masa jabatannya setelah
Presiden dan/ atau wakil presiden diberi kesempatan untuk menyapaikan
penjelasan di dalam sidang Paripurna MPR. Jika dilihat fungsi MPR seperti itu,
maka tampak bagaimana MPR sekarang sudah tidak sekuat dulu lagi pada masa Orde
Baru, ada pengurangan wewenang di dalam tubuh MPR.
Fungsi dari DPR
sesuai dengan pasal 20 A adalah Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi
legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan; dalam melaksanakan
fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar
ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak
menyatakan pendapat; serta selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain
Undang-Undang Dasar ini, setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak
mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas.
DPD dapat mengajukan RUU kepada DPR yang berkaitan
dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dna pemekaran
serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumberdaya eknomi
lainnya serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah
(pasal 22d ayat 1). DPD ikut membahas sejumlah RUU yang diajukan dalam bagian
pertama di atas, serta memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan RUU yang berkaitan dengan pajak,
pendidikan, dan agama (Pasal 22 D ayat 2). DPD dipilih langsung oleh rakyat
seperti halnya dalam anggota DPR.
Perdebatan kemudian dimulai, apakah yang sebenarnya
dianut oleh Indonesia, bikameral, soft bicameralism, ataukah trikameral? Selain
itu, perdebatan juga terjadi seputar bagaimana sebenarnya kedudukan MPR itu,
apakah hanya sebuah joint session ataukah memang masih perlunya MPR sebagai
sebuah lembaga negara yang masih harus tetap dipertahankan?
Setelah tadi
melihat perdebatan sebelum terjadinya amandemen, maka kita akan melihat
perdebatan mengenai sistem kamar setelah dilakukannya amandemen. Pertama, saya
akan membahas mengenai kedudukan MPR terlebih dahulu. Seperti yang juga
diperdebatkan sebelum amandemen, setelah amandemen juga masih diperdebatkan
kedudukan MPR, apakah masih diperlukan atau tidak. Memang sekarang fungsi MPR
tidak lagi sekuat pada masa Orde Baru. Menurut, Reni Dwi Purnomowati, SH, MH.,
MPR tidaklah tepat jika dikatakan sebagai sebuah lembaga. Alasannya antara lain
adalah bahwa MPR bukan lagi pemegang kedaulatan rakyat lagi. Selain itu,
menurutnya wewenang MPR untuk mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar itu
hanya bersifat insidental, meskipun hal ini terlihat sebagai hal yang penting.
Wewenang ini bukan hal yang harus dilakukan setiap hari. MPR juga sudah tidak
lagi mempunyai kewenangan penting lagi dalam memilih Presiden, sehubungan dengan
adanya pemilihan presiden langsung yang diatur dalam Pasal 6A UUD 1945 hasil
amandemen. Mengenai wewenang MPR untuk melakukan impeachment juga menurutnya
bukanlah hal yang selalu terjadi.
Pendapat
berbeda dikemukakan oleh ketua MPR periode 2004-2009, Hidayat Nur Wahid, yang
menyatakan pentingnya keberadaan MPR sebagai lembaga negara. Hidayat Nur Wahid
mengatakan bahwa pendapat yang menyatakan MPR hanya sebagai forum dan tidak
dapat dilembagakan merupakan pendapat yang tidak berdasar dan tidak mempunyai
argumentasi yang kuat. Menurutnya, sebenarnya fungsi dan kewenangan MPR yang
sekarang substansinya menyangkut hal-hal yang sangat penting dan mendasar dalam
kehidupan bernegara.
Kemudian
terkait dengan DPD, banyak perdebatan mengenai hal ini, tentunya mengenai
fungsi, wewenang, dan kedudukan DPD yang lemah, bahkan terkesan berada di bawah
subordinasi dari DPR. DPD sendiri dibentuk dengan tujuan untuk menyuarakan
aspirasi rakyat daerah dan diharapkan dengan dibentuknya sistem ini,
kepentingan rakyat daerah dapat terakomodasikan sehingga diharapkan dapat
menghindari kesenjangan dan ketidakadilan antara pusat dan daerah dan
diharapkan pula dengan sistem ini dapat mencegah disintegrasi bangsa.
Kewenangan DPD
mengalami banyak diskriminasi dalam Perubahan Ketiga UUD 1945. Pada pasal 7A
dan 7B ayat (1) sampai dengan ayat (6) mengenai usulan pemberhentian Presiden
hanya bisa dilakukan berdasarkan usul DPR tanpa melibatkan DPD sebagai elemen
penting dari lembaga legislatif. Pasal 7C hanya disebutkan Presiden tidak dapat
membubarkan DPR, tetapi tidak disebutkan Presiden tidak dapat membubarkan DPD.
Selain itu, di
dalam pernyataan perang, damai, dan perjanjian internasional tidak disebutkan adanya
pemibatan unsure DPD. Dalam hal ini hanya Presiden dan DPR lah yang dilibatkan.
Seharusnya, DPD yang juga memiliki tingkat legitimasi yang sama dengan DPR,
juga memiliki hak dan kewenangan tak berbeda untuk terlibat pengambilan
keputusan sekrusial itu. Karena, ketika perang dinyatakan oleh seseorang
presiden, masyarakat sipil di tingkat lokal pasti akan mendapat akibatnya.
Pasal 22 D ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa DPD memberikan pertimbangan
kepada DPR atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara.
Hal ini memperlihatkan bahwa dalam fungsi anggaran DPD juga mempunyai fungsi
yang sangat terbatas, yaitu terbatas pada memberikan pertimbangan kepada DPR
dalam proses pembahasan rancangan undang-undang APBN.
Sekali pun DPD
merupakan representasi daerah, dalam fungsi rekrutmen atau pengisian jabatan
publik DPR jauh lebih superior. Misalnya, peran DPR begitu besar dalam
pengangkatan Hakim Agung serta pengangkatan dan pemberhentian anggota Komisi
Yudisial. Di samping itu, beberapa agenda kenegaraan juga mensyaratkan
pertimbangan DPR, seperti: pengangkatan Duta dan menerima penempatan duta
negara lain.
Dari uraian di
atas maka dapat dilihat bahwa kewenangan DPD amat nimimalis dibandingkan dengan
DPR. Di sisi institusional DPR adalah pemegang mandat legislasi bersama-sama
dengan Presiden; mempunyai fungsi pengawasan; dan mempunyai fungsi budgenting.
DPD disini hanya terlihat sebagai “lembaga pemberi pertimbangan agung” kepada
DPR. Selain itu, DPD juga tidak mempunyai proteksi konstitusional karena adanya
kemungkinan untuk dibubarkan oleh Presiden, seperti yang telah disinggung dalam
uraian sebelumnya. Anggota DPD dan DPR sama-sama dipilih langsung oleh rakyat,
bahkan dianggap sebagai representasi wakil rakyat dari daerah langsung bukan wakil
dari partai politik, tetapi DPD dan DPR tidak mempunyai hak dari sisi
institutsional yang sama.
Tidak hanya
rentan secara institusional, DPD juga lemah secara personal. Bila
anggota-anggota DPR dilindungi dengan hak imunitas di dalam konstitusi, maka anggota
DPD tidak mempunyai garansi konstitusi demikian. Hak imunitas bagi anggota DPD
baru hadir dalam UU Susunan dan Kedudukan DPR, DPD, dan DPRD. Labih jauh,
hak-hak lain yang dimiliki anggota DPR semuanya dijamin dalam UUD 1945,
sedangkan hak-hak anggota DPD hanya diatur dalam UU Susduk. Perbedaan hierarki
peraturan tersebut secara nyata menggambarkan inferiornya DPD di hadapan DPR.
Kewenangan DPD
yang sangat kerdil di hadapan DPR menghilangkan salah satu fungsi kehadiran
DPD, sebagai fungsi internal kontrol parlemen. Dominannya DPR menjadikan DPR
sebagai lembaga yang hanya dapat dikontrol oleh kekuatan eksternal, misalnya
Presiden dan Mahkamah Konstitusi. Sedangkan kontrol internalnya hanya muncul
dari diri internal DPR sendiri. Kontrol internal ini dapat dilakukan melalui
dinamika politik fraksi-fraksi di DPR.
Melihat uraian
di atas, terjawablah bagaimana wajah parlemen di Indonesia, tetapi belum
terjawab apa yang sebenarnya sistem kamar yang dianut oleh parlemen di
Indonesia. Menurut Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., setelah Perubahan Keempat
UUD 1945, keberadaan MPR yang selama ini disebut sebagai lembaga tertinggi
negara itu memang telah mengalami perubahan yang sangat mendasar, akan tetapi
keberadaannya tetap ada sehingga sistem yang kita anut tidak dapat disebut
sistem bikameral ataupun satu kamar, melainkan sistem tiga kamar
(trikameralisme). Ada juga Saldi Isra yang berpandangan bahwa dengan adanya
kewenangan yang masih dimilik MPR, di samping kewenangan konstitusional yang
dimiliki DPR dan DPD, maka sebenarnya Indonesia menganut sistem tiga kamar.
Sebelum saya
menjawab pertanyaan apakah sebenarnya sistem kamar yang dianut oleh Indonesia,
saya akan mengajak pembaca untuk melihat sebentar sistem kamar di Amerika
Serikat. Sistem kamar di parlemen Amerika Serika terdiri dari dua kamar, lebih
tepatnya strong bicameralism, yaitu Senate dan House of Representative. Lembaga
legislatif di Amerika Serikat disebut Congress. Senate terdiri dari dua orang
perwakilan untuk setiap negara bagian. Masa jabatan Senator adalah enam tahun,
namun satu senator dari tiap negara bagian dipilih setiap dua tahun sekali.
Sedangkan masa jabatan House of Representative adalah empat tahun.
House of
Representative dan Senate memiliki kewenangan yang seimbang. Setiap isu harus
dibahas oleh kedua kamar secara bergantian dan keduanya mempunyai wewengan
penuh untuk mengambil keputusan. Bila keputusan diantara keduanya berbeda, akan
diadakan sidang gabungan untuk menyelesaikan perbedaan ini. Dalam fungsi
legislasi, kedua kamar memiliki kekausaan untuk mengajukan rancangan
undang-undang dalam semua hal, kecuali pajak yang hanya boleh diajukan oleh
House of Representatives. Secara tradisi, anggaran negara akan diajukan oleh
House of Representatives. Senate, berwenang untuk menyetujui perjanjian-perjanjian
internasional dan menyetujui nominasi kandidat presiden (hal ini tidak diatur
dalam kosntitusi, hanya sebuah tradisi).
Hal ini sangat
berbeda dengan Indonesia, dimana DPD tidak mempunyai kekuatan yang seimbang
dengan DPR. DPD secara implicit berada di bawah Presiden dan DPR. DPD Mempunyai
fungsi legislasi yang terbatas, hanya sebatas memberikan pertimbangan saja
kepada DPR. Oleh karena itu, tidak mungkin sistem kamar di Indonesia dapat
dikatakan sebagai strong bicameralism, layaknya sistem kamar di Amerika. Lalu
apakah sebenarnya yang dianut oleh Indonesia?
Secara logika
memang benar bahwa Indonesia mempunyai tiga kamar jika dilihat dari eksistensi
keberadaan lembaga. MPR yang hanya dianggap sebagai joint session, toh
mempunyai lembaga tersendiri, ada ketua dan wakil ketua, ada tata tertib dan
kode etik, serta mempunyai wewenang yang ditetapkan di dalam UUD 1945. Akan
tetapi, ketika dihubungkan dengan proses legislasi maka memang MPR tidak
mempunyai fungsi legislasi layaknya fungsi legislasi yang terdapat dalam tubuh
DPR. Oleh karena itu, saya tidak setuju dengan pendapat bahwa Indonesia
menganut sistem tiga kamar (trikameral).
Dengan merujuk
teori dari Giovanni Sartori, seperti yang telah diungkapkan di atas, maka saya
melihat bahwa Indonesia menganut sistem weak bicameralism. Dengan alasan bahwa
kedua kamar yang ada yaitu DPR dan DPD tidak mempunyai wewenang yang seimbang.
DPD tidak mempunyai fungsi legislasi layaknya DPR. Fungsi budgeting nya pun
terbatas. DPD tidak bisa menjadi lembaga pengontrol bagi DPR. DPD hanya
memberikan pertimbangan bagi RUU yang terkait dengan hal-hal tertentu seperti
yang telah disebutkan di atas.
Selain itu,
saya juga melihat dari pandangan Arend Lijphart, bahwa tiga prasyarat dari weak
bicameralism yaitu wewenang konstitusional kedua kamar, metode pemilihan
anggota, dan kemungkinan kamar kedua memang ditujukan untuk mewakili golongan
minoritas. Kalau dilihat dari prasyarat tersebut maka Indonesia jelas menganut
weak bicameralism. Alasannya adalah wewenang konstitusional antara DPR dan DPD
itu berbeda. DPR mempunyai wewenang yang lebih besar daripada DPD. Selain itu,
DPD merupakan wakil dari utusan daerah. Namun, yang menjadi permasalahan adalah
kedudukan MPR itu, apakah MPR hanya sebuah joint session atau sebagai sebuah
lembaga sendiri. Kalau saya mengatakan bahwa MPR hanya sebuah joint session
antara DPR dan DPD maka kriteria Arend Lijphart mengenai weak bicameralism ini
akan terpenuhi, tetapi kalau MPR dipandang sebagai sebuah lembaga maka
Indonesia bukan termasuk weak bicameralism.
Menurut hemat
saya, MPR hanya menjadi sebuah joint session saja. Meskipun sekarang keberadaan
MPR itu ada tetapi tugas dan wewenangnya hanya insidental saja. Saya bahkan
berpendapat secara ekstrem kalau MPR itu selama periode 2004-2009 ini hanya
melakukan tugas pelantikan wakil presiden dan wakil presiden saja. Sedangkan
tugas dan wewenang yang lain tidak dijalankan karena memang wewenang itu tidak
diperlukan untuk dilakukan saat ini. Saya melihat tidak perlunya adanya
keberadaan sebuah lembaga MPR itu. Untuk melantik presiden dan wakil presiden
terpilih itu hanya membutuhkan waktu satu hari saja. Untuk tugas yang lain
yaitu untuk impeachment dan mengubah dan menetapkan UUD 1945, sesuai dengan
pendapat Reni Dwi Purnomowati, hal ini hanya tugas yang insidental. Untuk
melakukan tugas mengubah dan menetapkan UUD 1945, menurut saya, bisa dilakukan
oleh ketua DPR atau membentuk sebuah panitia khusus, tidak perlu adanya MPR.
Soal masalah kepemimpinan sidang misalnya, bisa dilakukan bergantian antara
ketua DPR dengan ketua DPD.
Jadi,
kesimpulan terakhir saya adalah Indonesia menganut sistem weak bicameralism
atau soft bicameralism. Dengan alasan yang telah saya uraikan diatas. Oleh
karena itu, untuk saya melihat perlunya adanya penguatan dari DPD itu sendiri
terkait dengan fungsi-fungsinya, terutama dari fungsi legislasinya. Hal ini
kemudian bisa menjadikan penyeimbang bagi DPR. DPR tidak bisa seenaknya saja
menetapkan UU, karena ada pengontrol dari DPD. Strong bicameralism, menurut
saya, menjadi sebuah harapan untuk bisa menciptakan check and balances di dalam
lembaga parlemen itu sendiri.
Catatan Sang Pemimpi....
No comments:
Post a Comment