Hukum Acara Pidana
(Hukum Acara Pidana Indonesia Prof. DR. Andi Hamzah, S.H.)
ACARA PIDANA
SEBELUM ZAMAN KOLONIAL
Pada
waktu penjajah Belanda datang pertama kali di Indonesia telah tercipta hukum
yang lahir dari masyarakat tradisional sendiri yang kemudian disebut Hukum
Adat. Pada masa primitive pertumbuhan hukum, yang dalam dunia modern
dipisahkan dalam hukum privat dan hukum public, tidak membaadakan kedua bidang
hukum itu.
Hukum
Acara perdata tidak terpisah dari Hukum Acara Pidana. Tuntutan Perdata dan
tuntutan pidana merupakan suatu kesatuan, termasuk lembaga – lembaganya.
Supomo menunjukan bahwa pandangan rakyat
Indonesia terhadap alam semesta adalah suatu totalitas yaitu bahwa Manusia
beserta makhluk lain dan Lingkungannya merupakan suatu kesatuan, alam gaib dan
alam nyata tidak dipisahkan. Sehingga yang paling utama adalah keseimbangan dan
keharmonisan antara satu dengan yang lainnya. Segalanya perbuatan yang
menggangu keseimbangan itu merupakan pelanggaran hukum (adat).
Hazairin dalam
tulisannya berjudul “Negara tanpa penjara”
dalam Tiga Serangkai Tentang Hukum menulis bahwa dalam masyarakat tradisional
Indonesia tidak ada pidana penjara.
Hukum
pembuktian pada masyarakat tradisional Indonesia searing digantungkan pada
kekuasaan Tuhan.
Bentuk
– bentuk sanksi hukum adat (dahulu) dihimpun dalam Pandecten van het Adatrecht
bagian X yang disebut juga dalam buku Supomo tersebut, yaitu sebagai berikut :
1. Pengganti kerugian “immaterial” dalam pelbagai rupa seperti paksaan menikahi
gadis
yang telah dicemarkan.
2. Bayaran “uang adat” kepada orang yang terkena, yang berupa benda yang sakti
sebagai peganti kerugian rohani.
3. Selamatan (korban) untuk membersihkan masyarakat dari segala kotoran gaib
4. Penutup malu, permintaan maaf
5. Pelbagai rupa hukuman badan, hingga hukuman mati.
6. Pengasingan dari masyarakat serta meletakkan orang diluat Tata Hukum
No comments:
Post a Comment