Thursday, June 7, 2012

Pidana Penjara


Pidana Penjara dalam Stelsel Pidana di Indonesia
1
BAB I
PENDAHULUAN
“Want waar blijven we, als zelfs de overheden de gevangenen
vergeten. Waar gaat het heen, als de ambtenaren alleen nog
rapporten met cijvers aan elkaar doorgeven en als de uren, de
kostbare uren van een mensenleven nlet meer tellen.”
-Maria de Groot -

A. Alasan Penulisan
alah satu jenis pidana yang paling umum di dunia adalah pidana
penjara. Ada sorotan yang tajam atas fungsi pidana penjara tersebut
akhir-akhir ini1 dimana Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pun turut
mengarahkan perhatiannya yang sungguh-sungguh.2
Pencegahan kejahatan dan pembinaan terpidana merupakan hal
yang menjadi kesibukan PBB dalam seksi Social Defence dari
Sekretariat Jenderal PBB itu (1 Desember 1950) dengan kongreskongresnya
setiap lima tahun sekali. Hal ini mendapat dorongan pula
dari apa yang telah ditetapkan sebelumnya berupa Universal
Declaration of Human Rights (10 Desember 1948).
Begitulah kita lihat perhatian yang terus berkembang terhadap
pidana penjara telah muncul secara umum di beberapa negara di dunia
dewasa ini dan tidak pula ketinggalan kita di tanah air kita di Indonesia
ini.3 Mengapa pidana penjara tersebut belakangan ini mendapat sorotan?
Pengalaman menggunakannya dalan rentetan waktu yang panjang
selama ini, sejak munculnya pidana penjara itu sebagai salah satu
bentuk dari pidana hilang kemerdekaan yang menggantikan pidana

1 Rijksen, R. Achter slot en grendel, Samson uitgeverij NV Alphen aan den rijn, 1972, 2e,
herziene druk.h.12: In ons recntstelsel is de meest ingrijpende straf de gevangenisstraf. De
greschiedemis van deze straf, de huidige vorm van strafexecutie en enkels bespiegelingem over het
sanctiestelsel in de toekomst, wormenhet onder werp van dit boek.

2 Suyanto, Pembinaan nara pidana adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya.
Majalah Pemasyarakatan No.3 Tahun 1977, Direktorat Jenderal Bina Tuna Warga hal.15.

3 Ibid, hal. 17-18: Sebagai langkah pertama ialah Sahardjo, sebagai Menteri Kehakiman
pada tahun 1960-1963 dengan SK-nya No.JS 8/120/17 tanggal 6 Desember 1960 (Tambahan
Lembaran Negara No.2349 tahun 1960) menetapkan bahwa pohon beringin dengan perkataan
“pengayoman” sebagai lambang hukum, untuk dipakai sebagai lambang oleh Departemen
Kehakiman agar menjadi penyuluh bagi para petugasnya, terutama dalam membawa hukum,
menjalankan peradilan dan memberi keadilan, dalam memperlakukan para terpidana (nara pidana).
S
Bab I: Pendahuluan

badan, dirasakan tidak dapat diharapkan tidak mencapai sasarannya agar
kejahatan dapat ditekan dan dicegah dengan menggunakannya, malahan
di antara pendapat-pendapat di beberapa negara dewasa ini ada yang
begitu tajam sampai menginginkan dihapuskannya pidana penjara
tersebut, untuk diganti dengan jenis pidana yang baru.
Kita di Indonesia dewasa inipun turut terlibat menyoroti jenis
pidana penjara ini, baik karena dipengaruhi oleh pandangan-pandangan
modern dari luar negeri4, maupun karena didorong oleh kepribadian
bangsa kita Indonesia yang semakin dihayati dan ingin diamalkan,
sebagaimama terbukti dengan adanya Tap.MPR No.II/MPR/1978
tentang Pedoman, Pernghayatan dan Pengamalan Pancasila.5
Dalam perkembangannya di Indonesia tampak adanya keinginan,
untuk mengganti pidana penjara tersebut dengan “pidana pemasyarakatan”.6
Apakah dalam hal ini pidana pemasyarakatan itu benar-benar bersifat sebagai
jenis pidana yang baru atau bukan? Pidana pemasyarakatan menurut hemat
saya hanya memberikan pengertian bagaimana cara pidana penjara ingin
dilaksanakan di Indonesia dewasa ini.
Sejak tahun 19647 pelaksanaan pidana penjara di Indonesia
mendapat bentuknya yang baru yakni “sistem pemasyarakatan”, dimana
rumah-rumah penjara dirubah menjadi Lembaga Pernasyarakatam (LP).
Sistem ini dinyatakan sebagai pengganti sistem kepenjaraan yang
didasarkan. atas Reglemen Penjara tahun 1917 (Stbl.1917-708) dan
ingin dilaksanakan sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia,
Pancasila. Sehubungan dengan hal tersebut di atas jikalau “pidana
pemasyarakatan” dirasakan sebagai jenis pidana baru yang akan
menggantikan pidana penjara di Indonesia, sekaligus pula sebagai
konsekuensi dipakainya sistem pemasyarakatam itu maka menurut
hemat saya telah terjadi pencampuradukan pengertian antara apa yang
dimaksudkan sebagai jenis pidana (strafsoort) dengan cara (sistem)
bagaimana jenis pidana itu akan, dilaksanakan.
4 Sudarto, Suatu dilemma dalam pembaharuan sistem pidana Indonesia, Pusat Studi
Hukum dan Nasyarakat Fakultas Hukuim Universitas Diponegoro, 1974, hal. 33. Setelah diadakan
sekedar peninjauan tentang beberapa tanda ciri dari aliran “defense sociale” (nouvelle), ternyata
karakteristik dari sistem pidana dari Konsep Rencana KUHP tahum 1972 sejalan dengan aliran
tersebut. Hemat saya perkembangian yang demikian itu memang sewajarnya, akan tetapi ini tidak
bierarti bahjwa saya menyetujui semua apa yang tercantum dalam Konsep itu.
5 Ketetapan MPR No.II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pacasila.
6 Konsep LPHN :
4 / 1972
40 .. LPHN .. 23 .. 72
7 Sahetapy J. E., Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, Penerbit
Alumni, 1979, hal. 24.
Pidana Penjara dalam Stelsel Pidana di Indonesia
3
Benarkah pidana penjara tidak dapat dan tidak ingin kita
gunakan lagi sebagai salah satu jenis dalam stelsel pidana kita dan
mencari jenis yang baru sebagai penggantinya? Ataukah kita sebenarnya
akan tetap menggunakannya akan tetapi agar di dalam hal
pelaksanaannya memakai cara atau sistem yang lebih sesuai?8 Tegasnya
yang kita inginkan terutama adalah cara atau sistem, pelaksanaan pidana
penjara yang sesuai dengan jiwa dan kepribadian serta pandangan hidup
bangsa kita dalam arti hukum penitensiernya.9 Hal itu semua akan
mewarnai sikap Bangsa Indonesia dalam menyaring aliran-aliran
modern di dunia dewasa ini, memberi garis yang lebih jelas kepada hal
Individualisasi dan diferensiasi pemidanaan di Indonesia termasuk hal
reklasering.10
Permasalahan yang saya sebutkan di atas tidak dapat dibiarkan
berlarut-larut. memecahkan permasalahan itulah yang menjadi alasan
saya untuk menyusun disertasi ini. Janganlah kita lupakan bahwa di
dalam Lembaga Pemasyarakatan11 di Indonesia saat ini nara pidana
menanti-nanti untuk setiap detiknya yang berharga dari kehidupan
seorang manusia untuk apa ia dipidana. Sejalan dengan usaha yang
sungguh-sungguh untuk mennciptakan KUHP Nasional, pemikiran atas
pemecahan permasalahan di atas saya rasakan pula sebagai sesuatu yang
kiranya patut disumbangkan sebagai amal ilmiah biar bagaimanapun
kecil artinya.
B. Permasalahan dan Pendapat
Pada bagian akhir uraian di atas telah tergambar masalahnya
yang kita singgung secara tidak langsung berupa: Benarkah pidana
8 G. Suyanto, Op. cit hal. 20: Demikian di atas ini antara lain yang menjadikan
pemasyarakatan itu sebagai suatu cara perlakuan terhadap nara pidana/bekas nara pidana dan anak
piara negara yang mempunyai national identy, mempunyai Indonesian identy, Mempunyai corak
khas Indonesia.
9 E. Utrecht, Hukum Pidana II, PT Penerbit Universitas, Bandung, 1965, hal. 258: Pompe
(hal. 296-297) mengemukakan bahwa perubahan-perubahan dalam Strafwetboek sejak tahun 1886
itu menjadi akibat makin lama makin besar pengaruhnya pelajaran prevensi khusus (speciale
preventie) terutama pelajaran mengenai memperbaiki manusia yang telah melanggar. Tanpa sifat
pembalasan dari hukuman itu dihilangkan, masih juga tujuan sistem hukuman itu makin lama
makin diarahkan kejurusan memperbaiki kepribadian pelanggar sehingga ia dapat disalurkan
kembali ke dalam masyarakat sebagai manusia yang berguna.
10 Bandingkan, Sudarto, Op.cit. hal. 35: … kalau nanti KUHP Nasional termasuk sistem
pidananya sudah menjadi kenyataan, maka pada saat berlakunya harus pula ada "Undang-undang
pelaksanaan pidana (Strafvollzuggesetz), sebab kalau pada saat itu peraturan ini tidak ada, maka
kita seolah-olah bergerak di ruang yang hampa udara.
11 E, Utrecht, Op.cit. hal. 260: Di samping individualsasi dari hukuman serta diadakannya
diferensiasi dalam sistem hukuman itu maka juga penyaluran kembali dari yang terhukum ke dalam
masyarakat, antara lain dengan mengadakan lembaga hukum penitensier reclassering, yaitu
pendidikan dari yang terhukum di luar penjara dan tempat kurungan lain, dalam masyarakat sendiri
yang akan menerima kembali yang terhukum itu. Lihat pula tabel XVIII hal. 157.
Bab I: Pendahuluan
4
penjara tidak dapat dan tidak ingin kita gunakan lagi sebagai salah satu
jenis dalam stelsel pidana kita dan mencari jenis yang baru sebagai
penggantinya? Ataukah kita sebenarnya ingin tetap menggunakannya
akan tetapi agar di dalam pelaksanaannya memakai cara atau sistem
yang lebih sesuai?
Timbulnya keinginan untuk mengganti pidana penjara dengan
“pidana pemasyarakatan” di Indonesia, merupakan penyamaan
pengertian antara pidana penjara sebagai suatu “jenis” pidana dengan
“cara” bagaimana jenis pidana tersebut akan dilaksanakan, hal mana
tidak seharusnya demikian. Penggantian pidana penjara sebagai salah
satu jenis pidana dalam stelsel pidana Indonesia merupakan masalah
yang berlainan dengan adanya maksud untuk pengembangam cara
pelaksanaannya yang akan disesuaikan dengan pandangan hidup Bangsa
Indonesia, Pancasila. Inti masalah adalah apakah pidana penjara akan
diganti dengan jenis yang baru ataukah hanya cara pelaksanaannya.
Menurut hemat saya risalah yang dihadapi dewasa ini di Indonesia
adalah mengenai cara pelaksanaan pidana penjara tersebut.
Dalam beberapa tahun belakangan ini sorotan-sorotan terhadap
pidana penjara terlihat dimana-mana. Eduard Kern menuliskan sebagai
berikut:
“Kebijakan yang keras di Texas mencerminkan sikap lama yang
tetap bertahan bahwa hukuman merupakan balas dendam
masyarakat yang wajar. Setiap saat yang dilalui di dalam
penjara seharusnya merupakan peringatan keras bagi para nara
pidana bahwa mereka berada di sana untuk dihukum. Banyak
para ahli kuno, yang berpendapat bahwa kehilangan kebebasan
seseorang telah merupakan hukuman yang cukup berat dan
sebaiknya usaha-usaha ditujukan untuk membuat agar
kehidupan di penjara dapat tertahankan atau ditolerir. Penjara
sangat bersifat menghukum secara tidak perlu, demikian kata
John Irwin ahli sosiologi dari Universitas di negara bagian San
Francisco. Kita harus membuat kehidupan di penjara sedapat
mungkin seperti kehidupan di luar. Pembicaraan seperti ini
membuat Estelle Texas menjadi tertawaan. Usaha-usaha untuk
membuat kehidupan di penjara seperti dunia yang nyata
ditanggapi seperti suatu lelucon baik oleh para nara pidana
sendiri maupun oleh staf. Setiap orang yang berpendapat lain
berarti menutup matanya terhadap kenyataan”.12
12 Eduard-Kern, LIFE, August 1979, hal.88, dengan judul tuisan: Is this any way to run a
prison? The experts are at odds. “The tough policy in Texas reflects an old but persistent attitude
that a sentence is society's just, revenge, every moment spent in prison) should be a harsh reminder
to the criminals that they are there to be punished, Host experts nowadays consider losing one's
liberty punishment enough and that efforts would be better spent in trying to make prison life
tolerable. “Prisons are so unnecessarily punitive, says San Francisco State University Sociologist
Pidana Penjara dalam Stelsel Pidana di Indonesia
5
Di Negeri Belanda, Van Hattum menulis pula sebagai berikut:
“Pidana penjara diartikan sebagai segala perampasan
kemerdekaan yang merupakain pidana dengan berada di dalam
penjara. Saya menyatakan bahwa pidana penjara itu sudah kuno.
Begitulah lebih banyak disebut orang. Akan tetapi saya ingin
juga membuktikan bahwa pemerintah pada saat ini sedang
berusaha dengan sepenuhnya untuk menghapuskan pidana ini
dari stelsel pidana kita. Dengan itu timbulah pertanyaan yang
bergelora apakah yang akan kita tetapkan sebagai
penggantinya? Kita belum dapat dan tetap menjawab bahwa kita
belum tahu”.
Van Hattum mengingatkan pula akan apa yang dinyatakan oleh
Rijksen dalam pidatonya (rede 1961), sebagai berikut:
“bahwa hampir di semua negara melalui ahli-ahli hukum
pidana, ahli-ahli hukum penitensier, ahli-ahli psychiatri dan
petugas reklasering berulang-ulang disebutkan bahwa pidana
penjara itu memberikan pengaruhnya yang lebih buruk kepada
nara pidana dari pada sebaliknya”.13
Dalam essay 200 Tahun Crime and Punishment di Amerika
(1776-1976) James Q. Wilson, professor of government pada Harvard
University, menyatakan:
“Kita salah. Kita sampai pada kenyataan yang tidak
menggembirakan bahwa polisi jarang sekali dapat mencegah
kejahatan dan paling tinggi hanya mampu memecahkan?
pelanggaran-pelanggaran kecil saja. Beratus-ratus studi
eksperimental mengenai perlakuan terhadap para nara pidana
mencapai kesimpulan yang sama: tidak perduli bentuk
rehabilitasi macam apapun yang diambil, kejuruan atau
pendidikan akademik, konseling individual atau kelompok,
pidana jangka pendek atau panjang, percobaan atau perjanjian
(parole), namun tak akan pernah berhasil. Akhirnya kita harus
mengakui bahwa sangat naif bila kita beranggapan bahwa kita
John Irwin. ‘We should aim at making prisons as much like life on the outside as posible’, Such talk
moves Texas’s Estelle to scorn. ‘Efforts to make prison seem like the real world are seen as a joke
by both prisoners and staff’, he says ‘Anyone who thinks differently is closing his eyes to reality’.
“Gevangenisstraf te verstaan als alle vrijheidsbeneming als straf door opsluiting in gesloten
inrichtingen. Ik stel dat de gevangenisstraf obsoluut is. Dat Is wel meergezegd. Maar ik wil ook
betogen dat hat dus de hoogste tijd is dat de regering met grote voortvarendheid alles in het werk
moet stellen om deze straf uit ons straf stelsel te doen verduijnen. Daarbij komt dan de brandende
vraag: wat stellen wij er voor in de plaats? We kunnen werkelijk niet maar blijven zeggen, dat we
het niet weten”
13 WFC van hattum, afschaffing van de gevangenisstraf Balans No.8, September 1975, hal.
29: “dat in vrijwel alle landen door strafjuristen, penitentiaire deskundigen, psychiaters en
reclasseerders er telkens op wordt gewezen dat de gevangenisstraf op de gedetineerden eerder een
negatieve dan een positieve invloed heeft”.
Bab I: Pendahuluan
6
dapat merubah tabiat seorang terhukum yang telah mengabaikan
sebagian besar dari kehidupannya terhadap segala macam
bentuk kejahatan. Akan tetapi apabila penjara tidak dapat
merehabilitasinya, setidak-tidaknya penjara dapat menghukum
dan mengasingkannya”.14
Di Indonesia sorotan terhadap fungsi pidana menurut hemat
saya, membawa kita ke dalam dua masalah yang segera mengharuskan
kita dapat melihat perbedaannya dengan tajam, apakah pidana penjara
sebagai jenis pidana, yang tidak dapat kita gunakan lagi, ataukah cara
atau sistem pelaksanaannya saja yang ingin kita rubah agar sesuai
dengan kepribadian dan pandangan hidup bangsa kita.
Jika masalah pertama yang kita hadapi, maka hal itu jauh lebih
sukar untuk mengatasinya daripada mengatasi masalah yamg kedua.
Sudarto dalam pidato pengukuhan beliau sebagai Guru besar hukum
pidana, pada tanggal 21 Desember 1974, mengingatkan kita mengenai
hal itu sebagai berikut:
“Pembaharuan sistem pidana ternyata tidak semudah yang
diperkirakan orang. Dilema yang dihadapi ialah, apabila hanya
mengadakan revisi dari apa yang ada sekarang maka itu,
bukanlah suatu pembaharuan, dan apabila yang ada itu
ditinggalkan maka harus ditemukan alternatifnya yang tepat,
dan di sinilah dapat timbul kesulitan-kesulitan yang bersifat
dogmatis dan praktis”.15
Sehubungan dengan pandangan beliau itu, jika sebenarnya
ternyata bahwa yang kita hadapi adalah masalah yang pertama yang
menginginkam digantinya pidana penjara itu sebagai salah satu jenis
pidana kita, menurut hemat saya dalam hal itu kita tidaklah akan terlibat
ke dalam kesulitan yang bersifat dogmatis, jika saja hal ini dapat diberi
landasannya atas suatu penelitian terhadap sikap masyarakat kita
dewasa ini mengenai pidana penjara tarsebut (mengenai hal ini lebih
lanjut akan disinggung dalam Bab IV disertasi ini).
Menarik sekali ucapan Rupert Cross yang dialihbahasakan oleh
Sahetapy dalam disertasi beliau sebagai berikut:
“Seorang sarjana hukum pidana yang membatasi pehatiannya
14 James Q. Wilson, Crime and punishment, Bicentennial essay 1776-1976, TIME, April
26, 1976, hal. 54-56: “we were wrong. We are coming to the unhappy realization that the police
can rarely prevent crime and can solve at best only a small fraction of offenses, We now know that
prison cannot rehabilitate offenders. Hundreds of experimental studies on the treatment of
criminals reach the same conclusion: no matter what form rehabilitation takes vocational or
academic training, individual or group counseling, long or short sentences, probation or parole it
does not work. We must finally conceed's that it is naive to suppose we can take a convict who has
devoted a good part of his life to misbehavior of every sort and transform his character. But if
prison cannot rehabilitate at least they can punish and isolate”.
15 Sudarto, op. cit. hal. 33.
Pidana Penjara dalam Stelsel Pidana di Indonesia
7
dalam hukum pidana dengan mengesampingkan teori-teori
pidana dan pembinaan terhadap para pelanggar bukum, adalah
contoh sarjana hukum yang patut dikasihani”16
Selanjutnya beliau menyatakan bahwa di Indonesia Sahardjolah
yang dapat dianggap sarjana hukum atau orang pertama yang
mencetuskan gagasan yang mengandung konsepsi pemikiran
pemasyarakatan pada tahun 1963, Namun konsepsinya baru bertalian
dengan penggantian nama penjara menjadi lembaga pemasyarakatan.
Pada tahun 1964 tanggal 27 April, istilah penjara diganti dengan istilah
lembaga pemasyarakatan. Penggantian istilah tersebut jelas
mengandung konsepsi pemikiran yang dapat dikatakan revolusioner
terhadap konsepsi sistem pidana dalam konsep sistem hukum pidana
Indonesia yang akan datang.17
Benarkah pemikiran Sahardjo membawa kita kepada masalah
ingin digantinya pidana penjara sebagai salah satu jenis pidana dalam
stelsel pidana Indonesia saat ini?
Kita teringat akan apa yang diajarkan Sudarto di atas tadi bahwa
jika kita ingin merubah suatu jenis pidana kita, maka kita harus
menemukan alternatifnya yang tepat. Apakah konsepsi pemikiran
pemasyarakatan yang dilahirkan oleh Sahardjo itu merupakan suatu
alternatif pengganti bagi pidana penjara?
Sahardjo dalam pidato penerimaan gelar Doktor Honoris
Causanya, 5 Juli tahun 1963, menyatakan:
”Di bawah pohon beringin pengayomam yang telah kami
tetapkan yaitu menjadi penyuluh bagi petugas dalam
memperlakukan terpidana maka tujuan pidana penjara kami
rumuskan:
Di samping menimbulkan rasa derita pada terpidana karena
dihilangkan kemerdekaan bergerak, membimbing terpidana
agar bertaubat, mendidik supaya ia menjadi seorang anggota
masyarakat sosialis Indonesia yang berguna”.18
Menurut hemat saya, terdapatnya kata-kata berupa “untuk
menjadi penyuluh bagi petugas dalam memperlakukan terpidana….”
dan kata selanjutnya berupa “maka tujuan pidana penjara kami
rumuskam….”, tidak perlu meragukan kita, dan jelas bahwa “sistem
pemasyarakatan” yang dilahirkan itu merupakan suatu cara
16 Sahetapy, J. E., Ancaman Pidana Mati terhadap pembunuhan berencana, Penerbit
Alumni, 1979, hal. 24.
17 Ibid. hal. 7.
18 G. Suyanto, Op.cit. hal. 18.
Bab I: Pendahuluan
8
melaksankan pidana penjara yang ingin lebih disesuaikan dengan
keinginan kita bangsa Indonesia.19
Sehubungan dengan hal ini mari kita catat apa yang dikuliahkan
Satochid Kertantegara:
“Ketika Sahardjo, SH, Dr. Juris HC menjabat menteri
Kehakiman merangkap Wampa, oleh beliau telah dianjurkan
agar supaya diadakan perubahan yang mengenai sifat pidana
penjara, yaitu harus dipandang dari sudut “pengayoman”,
artinya terhadap seseorang yang dijatuhi pidana penjara itu,
antara lain harus dibina, dididik agar supaya kelak setelah
mereka keluar dan kembali ke dalam masyarakat, mereka
menjadi orang yang berguna akan tetapi walaupun pidana
penjara itu didalam pelaksanaannya harus dijalani di dalam
rumah-rumah penjara yang umumnya bertembok tinggi, namun
sudah sejak dari dahulu, harus diusahakan di dalamnya memberi
pendidikan kepada para nara pidana, maksudnya supaya mereka
kelak setelah kembali ke dalam masyarakat, menjadi anggota
masyarakat yang berguna dan dapat diharapkan dari mereka itu
tidak akan berbuat jahat lagi…...”.20
Menurut hemat saya apa yang tersirat dalam pernyataan
Satochid Kertanegara di atas mengingatkan kita, bahwa sistem
pengayoman tersebut tidaklah asing lagi bagi kita dan bukanlah suatu
hal yang sama sekali baru.21 Bahruddin, Wakil Kepala Direktorat
Pemasyarakatan, tahun 1964 menyatakan pula:
“Pencipta gagasan pemasyarakatan, almarhum Bapak Dr,
Sahrardjo, SH tidak atau belum memberi formulering yang
lengkap tentang pemasyarakatan, akan tetapi beliau dalam
pidatonya dalam upacara penganugerahan gelar Doktor Honoris
Causa dalam ilmu hukum telah mengungkapkan beberapa aspek
mengenai perlakuan terhadap para nara pidana”.22
Selanjutnya Bahruddin menyatakan:
“Dengan menyadari adanya kebutuhan akan ‘treatment system
of prisoners’ berdasarkan kepribadian Indonesia, pada bulan
19 Bandingkan, art 26 Beginselenwet Gevangeniswezen, Nederland: Met handhaving van
het karakter van de straf of de maatregel wordt hun tenuitvoerlegging mede dienstbaar gemaakt
aan de voorbereiding van de terugkeer der gedetineerden in het maatschappelijk leven. B.A. Salim,
Hukum Pidana, beberapa catatan dari penitentiaire recht di negeri Belanda dan di Indoneia,
Fakultas Hukum USU, Medan, 1976, hal. 58.
20 Satochid Kertanegara-diktat-1963/1964 Fak.Hukum UI, Jakarta Medio Oktober 1964,
hal. 190.
21 Bandingkan, R.A.Koesnoen, Politik Penjara Nasional, Penerbitan Sumur Bandung,
1961, mengenai hal Reglemen penjara dan praktek penjara kolonial hal. 39.
22 Bahruddin, Prasaran dalam Konperensi Kerja Direktorat Pemasyarakatan di Bandung, 29
April s/d 9 Mei 1964, dengan judul Pelaksanaan Technis Pemasyarakatan.
Pidana Penjara dalam Stelsel Pidana di Indonesia
9
April 1964, para pejabat kepenjaraan terkemuka dalam,
konferensi dinasnya di Lembang/Bandung telah menyetujui suatu
konsepsi ‘treatment of prisoners’ yang berorientasikan
Pancasila. ‘Treatment system’ yang baru itu kemudian terkenal
sebagai ‘Pemasyarakatan’ yang perintisnya adalah Dr. Sahardjo,
SH”.23
E. Utrecht memberikan pula tanggapannya atas masalah
perlakuan terhadap terpidana penjara dan hal tidak memuaskannya
keadaan penjara di Indonesia, sebagai berikut:
“Keadaan penjara, yang masih tidak banyak berubah sejak kita
meninggalkan pemerintahan kolonial, dan telah hidup dalam
suatu negara yang merdeka, tidak memuaskan. Penjara di
Indonesia perlu dimodernisasi dan perlakuan terhadap yang
terhukum (nara pidana) perlu disesuaikan dengan kepribadian
Indonesia kita. Telah diciptakan suatu politik penjara nasional.
Beberapa pendapat tentang politik penjara nasional ini ini dapat
dibaca dalam buku Koesnoen: Politik Penjara Nasional, 1961”.24
Dari uraian di atas jelas bagi kita bahwa yang diinginkan adalah
perubahan cara perlakuan terbadap terpidana penjara kita, bukan
diinginkannya perubahan pidana penjara itu sendiri sebagai salah satu
jenis dalam stelsel pidana kita.
Mencampuradukkan kedua masalah di atas ini mengakibatkan
timbulnya golongan pendapat yang melihat bahwa dirubahnya cara
perlakuan terhadap terpidana penjara tersebut berarti turut merubah pula
pidana penjara itu sendiri sebagai salah satu jenis pidana yang berlaku.
Hal ini tampak sebagaimana ditentukan dalam Bab V, Tentang Pidana
atau Susunan Pidana, Konsep Rencana KUHP, Buku I tahun 1982/1983,
pasal 43:25
Jenis Pidana adalah:
(A) Pidana pokok terdiri atas:
1 Pidana mati.
2 Pidana pemasyarakatan.26
3 Pidana pembimbingan.
4 Pidana peringatan
5 Pidana perserikatan.
23 Bahruddin Sujobroto, Prasaran dalam Seminar Kriminologi I tahun 1969 di Semarang
berjudul “The treatment of offenders”, Penerbit Lembaga Kriminologi Universitas Diponegoro, jilid
II hal. 18.
24 E. Utrecht., Op.cit. hal. 292.
25 Konsep LPHN :
4 / 1972
40 .. LPHN .. 23 .. 72
26 Sudarto, Op. cit. Hal. 13: Pidana baru ini tentunya harus merupakan alternatif dari pidana
pencabutan kemerdekaan. Pidana pemasyarakatan tidak dapat disebut sebagai pidana baru.
Bab I: Pendahuluan
10
(B) Pidana tambahan
1. Pencabutan hak tertentu.
2. Perampasan barang-barang tertentu.
3. Pengumuman keputusan hakim.
4. Pembayaran ganti kerugian.
5. Pemenuhan kewajiban adat.
Dalam Konsep Rancangan itu tampak, bahwa pidana penjara
sebagai salah satu jenis pidana dalam paket pidana di Indonesia telah
diganti dengan “pidana pemasyarakatan”.27 Terasalah bahwa adanya
masalah, cara atau sistem pelaksanaan pidana penjara disamaartikan
dengan hal jenis pidananya sendiri. Karenanya pertukaran cara atau
sistem pelaksanaan harus membawa konsekuensi ditukarnya pula jenis
pidananya. Pidana pemasyarakatan harus menggantikan pidana penjara.
Menurut hemat saya, hal sedemikian itu tidak seharusnya terjadi.
Indonesia sekarang ini sebenarnya mulai memasuki era baru dalam
perkembangan sistem hukum penitensier kita. Aliran modern yang
membawa hal-hal individualisasi hukuman dan diferensiasi hukuman,
kesemuanya mendesak kita untuk memperkaya sistem pelaksanaan
pidana penjara kita, bukan untuk menggantikannya dengan jenis yang
baru. Sikap yang disebutkan terakhir itu justru malah menambah
rumitnya masalah. Pidana penjara sebagai suatu jenis pidana tetap
berlaku ia telah mendapat tujuannya yang baru dewasa ini, yang
melahirkani cara-cara baru pula dalam pelaksanaannya.28
Pidana penjara dengan tujuannya yang baru akan dilaksanakan
di banyak tempat yang berbeda, yang sesuai bagi terpidananya,
misalnya: di Lembaga Pemasyarakatan, di Klinik, di Barak Residivis,
dan lain-lain sebagainya. Melihat masalahnya, ia tidak harus diganti.
Hal ini akan diuraikan lebih lanjut dalam Bab. Kelima.29 Pidana penjara
27 Sesudah lokakarya Buku I KUHP Baru (konsep 1982/83) telah disepakati oleh Tim
Pengkajian Hukum pidana Badan Pembinaan Hukum Nasional untuk mengganti pidana
pemasyarakatan menjadi pidana penjara.
28 Bandingkan, Sudarto, Op.cit. hal 9: Memang kemudian terasa benar angin baru yang
menghembus di bidang pelaksanaan pemidanaan yang berupa pidana penjara di Lembaga-lembaga
Pemasyarakatan.
29 Bandingkan, Oemar Seno Adji, Hukum (acara) pidana dalam prospeksi, Penerbit
Airlangga, Jakarta, 1973 hal. 199: Dalam sistem kita, khususnya dalam pidana pemasyarakatan
dimana suatu pidana itu diabdikan pada suatu resosialisasi para detainer, suatu pemisahan yang
tegas antara pidana dan tindakan menghadapi suatu “vervaging”, jikalau kita menyadari bahwa
tindakan-tindakan itu bermaksud pula untuk mempersiapkan mereka yang diambil tindakan itu
dalam kembalinya ke masyarakat. Bandingkan, R. Didi Gunardi, dalam tulisannya yang berjudul:
upaya pemidanaan agar bermanfaat dalam Harian Waspada, 15 Juli 1982, sbb: “bertolak dari
uraian di atas, haruslah kita sekarang permasalahkan bagaimanakah dengan istilah hukuman
penjara, yang masih terdapat dalam hukum pidana material kita (KUHP) sebagaimana tercantum
dalam pasal 10. Agar terdapat hubungan yang harmonis antara hukum pidana material (KUHP)
dengan KUHAP (hukum acara formal), maka perlulah sekarang kita memikirkan adanya
penggantian istilah hukuman penjara dengan istilah lain, misalnya saja apakah tepat diganti dengan
hukuman pemasyarakatan, suatu istilah yang tampaknya leblh berbau unsur humanisme daripada
Pidana Penjara dalam Stelsel Pidana di Indonesia
11
yang akhir-akhir ini menarik perhatian dunia sama halnya dengan
suasana saat ia dilahirkan untuk menggantikan pidana atau hukuman
badan pada zaman praklasik yang lampau.30 Ia muncul sebagai suatu
jenis pidana baru saat itu dengan wajah “pidana hilang kemerdekaan”
(vrijheidstraf) yang dirasakan lebih manusiawi dari pada pidana badan
tersebut.
Bagaimanapun perbedaan keduanya itu, ia tetap sama-sama
mengandung arti “penderitaan” hingga saat ini.31 Galtung di dalam
tulisannya tentang penjara dan masyarakat menegaskan, bahwa berada
di dalam penjara itu menimbulkan frustasi dan memang itulah pula
maksudnya.32 Sifat pidana itu sebagai “penderitaan” adalah sudah
menjadi kodrat pidana dan ia digunakan untuk “membalas” dalam arti
yang setimpal bagi perbuatan pidana yang telah dilakukan si pembuat.33
Karenanya masalah memidana atau perlakuan terhadap terpidana pada
dasarnya adalah suatu pembalasan. Dasar tersebut bertumbuh dan
berkembang sesuuai dengan sikap masyarakat pemakainya.34 Namun
jika “pidana” dijatuhkan, tanpa sifat pembalasan tersebut ada di
dalamnya, maka sebenarnya masyarakat yang bersangkutan bukanlah
memidana atau menghukum.35
Di Indonesia sepanjang sejarah penggunaan pidana penjara
selama ini dapat dirasakan hal pidana itu sebagai pembalasan, yang
merupakan faktor utamanya, di samping diusahakan pula untuk
hukuman penjara, atau barangkali perlu kita himbau para ahli bahasa kita untuk menemukan istilah
yang lebih tepat lagi. Sebab dengan berhasilnya ditemukan istilah yang sesuai maka akan
terciptalah suatu hubungan yang harmonis baik dalam, ketentuan perundangan hukum formal
maupun hukum material ataupun dalam kenyataannya dimana istilah Rumah Penjara sekarang telah
berubah menjadi Lembaga Pemasyarakatan?Menurut hemat penulis inilah suatu contoh akan
adanya pandangan maupun pengertian yang kabur atas masalah pidana penjara sebagai salah satu
bentuk stelsel pidana kita.
30 G. Suyanto, op. cit. hal. 13: …. maka perlu diusahakan kekuatan physiknya dipatahkan
dengan bermacam macam cara menyakitinya, menyiksanya atas badannya, sehingga tidak jarang ia
menjadi cacat untuk selamalamanya. Doktrine ini dianut pada zaman praklasik (sebelum abad 18).
31 Sudarto, op. cit. hal. 30. Juga Sahardjo dalam pidato penerimaan gelar Doctor Honoris
Causa yang disebut di muka juga masih melihat pidana sebagai penderitaan.
32 Galtuing, J. Gevangenis en maatschappij, Den Haag, 1967, hal. 88 (dalam Strafrecht
jaarring II 1973-1974. Erasmus Universiteit Rotterdam juridische faculteit).
33 R. A. Koesnoen, Op.cit. hal. 9: Memang keadaan sekarang negara-negara individualis,
liberalis melaksanakan pidana hilang kemerdekaan sebagai pidana pokok dan di sampingnya kerja
paksa sebagai upaya penyempurnaannya.
34 Bandingkan pandangan aliran défense sociale dari Filippo Gramatica: lihat Sudarto, op.
cit. hal. 33: Menurut pandangan Gramatica yang ekstrim itu, hukum pidana harus diganti dengan
sistem tindakan-tindakan perlindungan masyarakat. Istilah penjahat (delinquent), kejahatan(tindak
pidana) dan pidana harus dibuang jauh-jauh.
35 Berbeda adalah Sahetapy, J.E., Kapita selekta kriminologi, Penerbit Alumni, 1979,
Bandung, hal. 148-149: “Tetapi bagaimana dengan para warga negara yang menamakan diri
pendukung Pancasila, manusia yang beragama yang seharusnya pantang membunuh? Masih
tetapkah ada kebencian dan dendam? Di sinilah letak dilemmanya. Masih perlukah ajaran agama
diperdalarm untuk mengasihi sesama manusia? Ataukah itu hanya suatu gincu pelipur lara dan
penghias diri? dan sama sekali jangan dikaitkan dengan masalah kejahatan?
Bab I: Pendahuluan
12
membina terpidana. Menghapuskan sama sekali sifat pembalasan dari
pidana itu menurut hemat saya, merupakan hal yang mendasar yang
menyangkut kalbunya bangsa Indonesia, yang keseluruhan
kehidupannya dijiwai oleh kodrat berketuhanan, yang segala sesuatunya
itu dihubungkan, dimohon kepada-Nya, termasuk hal pembalasan. Hal
pembalasan dalam tujuan pemidanaan dengan pidana penjara bagi
bangsa Indonesia, adalah hal yang tidak bertentangan dengan
kepribadian atau pandangan hidupnya.36 Anasir pembalasan yang
setimpal sebagai anasir utama dalam tujuan pemidanaan melalui pidana
penjara, tidak dapat dihapuskan sama sekali.37
Pidana penjara sebagai salah satu jenis dalam, tatanan
pemidanaan di Indonesia dewasa ini, tinggal tetap serasi dalam
statusnya38 hanya saja ingin segera ditemukan cara atau sistem
pelaksanaannya.
Menemukan cara atau sistem pelaksanaan pidana penjara
dengan menerima pengaruh yang baik dari aliran modern dalam hukum
pidana, menurut hemat saya mulai mendorong hukum penitensier
Indonesia ke arah pengembangan lebih lanjut individualisasi dan
diferensiasi pemidanaan, lewat pelaksanaan pidana penjara.
Konsekuensinya adalah melakukan observasi atas para nara pidana
sehingga setiap mereka itu sedapat mungkin ditempatkan dalam
lembaga yang sistemnya adalah sesuai dengan sifat kepribadiannya
(individualisasi), dimana diperhatikan pula lama pidananya dan juga
kemungkinan-kemungkinan reklaseringnya.39 Menurut hemat saya
36 Bandingkan, G. Suyanto, op. cit. hal. 14: Pandangan-pandangan tersebut di atas karena
pengaruh-pengaruh dari pada ahli penologi yang berhasrat untuk mengadakan perbaikan-perbaikan,
maka perhatian terhadap dan tujuan memperbaiki si terpidana, yang semula hanya sebagai tujuan
tambahan, di sini sudah setapak demi setapak lebih menjadi tujuan yang sebenarnya.
37 Nada yang sama, lihat Kasman Harahap, Anggota DPRD Medan dari Komisi D, atas
pertanyaan "SMW" tentang penanggulangan kejahatan, Waspada 22-8-1982: “Penjahat yang
profesional dihukum berat, kecuali yang muda perlu dibina, perlu diteliti penyebabnya. Juga
Bahruddin (bekas Kepala Jawatan Kepenjaraan RI dan staf ahli Lembaga Kriminologi UI, Harian
Waspada, 11 Oktober 1982, hal. I: Indonesia perlu melakukan langkah-langkah yang lebih maju
lagi dalam menjalankan asas pemasyarakatan. Dalam rangka ini misalnya, perlu diadakan survei
siapa yang sebetulnya dijatuhi hukuman penjara, dan siapa yang dapat dijatuhi hukuman di luar
penjara hingga hukuman dapat berfungsi sebagai hukuman dan alat untuk memperbaiki seseorang
(Antara). Judul berita: Hakim jangan mudah jatuhkan hukuman penjara, Jakarta. 10/10-1982.
38 Roelan Saleh , Kitab Undang-undang hukum pidana dengan penjelasannya, Aksara
Baru, Jakarta, 1981, pasal 10, hal 25.
39 Di negeri Belanda gambarannya yang sejalan dapat kita lihat Ch, J. Enschede, A.
Heijder: Beginselen van Strafrecht; 2e druk, Kluwer, 1974, hal. 152, dialih bahasakan R. Achmad
Soemadi Pradja, Asas-asas hukum pidana, Penerbit Alumni, 1982, Bandung, hal. 279: Dengan
diadakannya Beginselen wet gevangeniswezen (undang-undang, 21 Desember 1951, S. 596)
sekarang ini, maka dalam tahun 1953 pada dasarnya sistem cel telah dihapuskan. Penggantinya dari
sistem itu, adalah dasar dari “diferensiasi” dari lembaga-lembaga dan pemilihan dari para tahanan.
Tiap-tiap tahanan sedapat mungkin ditempatkan dalam lembaga yang sistemnya adalah sesuai
dengan sifat kepribadiannya, dimana diperhatikan lamanya pidana yang harus dijalankan, pula pada
kernungkinan-kemungkinan reklasering bagi si tahanan, demikian ditentukan dasarnya dalam art 12
Pidana Penjara dalam Stelsel Pidana di Indonesia
13
adanya Lembaga Pemasyarakatan disamping penjara di Indonesia, jadi
bukan menggantikannya, adalah merupakan gejala pertama dari
perkembangan dimaksudkan di atas tadi.
Sehubungan dengan itu maka jelas dirasakan bahwa pidana
penjara sebagai salah satu jenis pidana Indonesia di dalamnya
mengandung dua anasir disatu pihak terutama mengenai anasir
pembalasan yang setimpal dan di lain pihak anasir pembinaan. Selain
hal ini ada pula usaha reklasering bagi bekas nara pidana.
Mengenai sejarah pertumbuhan usaha reklasering40 di Indonesia
berbeda dengan di negeri Belanda. Pelaksanaannya di Indonesia masih
belum maju (Schepper. T. 152 halaman 70-71, Jonkers, halaman 188-
189).41 Oleh Schepper, Ketua Centraal College van de Reclassering di
Nederlands-Indië, dikemukakan lebih lanjut bahwa pada waktu
penghukuman bersyarat dimasukkan ke dalam KUHP, 1915, keadaan di
Indonesia adalah berbeda sekali dari keadaan di negeri Belanda pada
waktu penghukuman bersyarat itu dimasukkan ke dalam Strafwetboek
Belanda. Pada waktu penghukuman bersyarat itu dimasukkan dalam
Strafwetboek Belanda maka di negeri Belanda telah ada satu aparatur
reklasering yang lengkap dan bekerja baik, sedang pada waktu hukuman
bersyarat itu dimasukkan ke dalam Wvs tahun 1915 di Nederlands-Indie
hanya tersedia satu aparatur yang serba kurang, sangat sederhana dan
bekerja seret. Dibandingkan dengan perkembangan reklasering di negeri
Belanda maka perkembangan reklasering di Indonesia justru merupakan
kebalikan dari perkembangan reklasering di negeri Belanda itu.
Di negeri Belanda adanya suatu aparatur yang lengkap dan
bekerja baik melahirkan lembaga penghukuman bersyarat, sedangkan
sebaliknya di Indonesia justru baru dengan dimasukkannya lembaga
Sr. G. Suyanto, op. cit. hal. 20: Demikian di atas ini antara lain yang menjadikan Pemasyarakatan
itu sebagai suatu cara perlakuan terhadap nara pidana/bekas nara pidana dan anak-anak piara negara
yang mempunyai national identy mempunyai Indonesia identity, mempunyai Indonesian
identity.
40 Gartina Dendadipura: “Reklasering”, skripsi, 1953 hal. 5-7: menurut katanya berarti
menempatkan kembali dalam masyarakat (heir plaatsing in de maatschappij). Simon dalam
bukunya Problemen van het Strafrecht (1929) dalam hal reklasering mengatakan: “om zich de
gestraften en ontslagenen aan trekken en te trachten aan den laatsten een plaats in de maatschappij
terug te geven (hal. 188). Ada persamaannya dengan pendapat Vos: “het algemeen kan men onder
reclassering verstaan het bevorderen, dat zij die zich aan strafbare feiten hebben schuldig
gamaakt, weer nuttige leden van de maatschappij worden” (Leerboek hal. 271). Agak beda
pendapat Pompe tentang ini, “hieronder (reclassering) wordt verstaan de georganiseerde
beweging, gewekt en geleid door particulieren, die daarop gricht is, dat degene die zich aan de
strafbare feiten schuldig maakten zich van herhaling dier feiten zullen onthouden, en als
behoorlijke rechtsgenoten hun werk in de samenleving zullen verichten”. Simons dan Vos
menekankan pada kembalinya dalam masyarakat sebagai anggota yang baik sedangkan Pompe
menempatkan sebagai pertama “orm zich van herhaling der feiten te zullen onthouden” dan
kembalinya dalam masyarakat sebagai warga yang baik sebagai hal kedua.
41 E. Utrecht, op. cit. hal. 265.
Bab I: Pendahuluan
14
penghukuman bersyarat dalam WvS 1915 reklasering itu dapat
berkembang.42
Upaya-upaya reklasering secara umum di Indoinesia dalam
sejarahnya mendapat julukan “sebagai kerakap tumbuh di batu, hidup
segan mati tak mau”, memberi warna yang suram pada bagian akhir dari
rentetan perlakuan terhadap terpidana yang sebenamya dirasakan selalu
mengandung tujujannya yang baik sebagaimana yang diinginkan juga
oleh masyarakat.
Menurut hemat saya, keadaan tersebut tidak dapat terlepas dari
sikap masyarakat Indonesia, yang sejak semula sudah tidak sehat dalam
menghadapi hal-hal yang menyangkut penjara dan terutama bekas
narapidananya. (lihat Bab V). Sebab timbulnya sikap demikian dapat
dijelaskan sebagai berikut:
Dengan diterapkannya seseorang terpidana dalam penjara, maka
berubah pulalah corak hidup kemasyarakatan dari yang biasa ke corak
kehidupan penjara. Penjara sebagai tempat terkumpulnya anggotaanggota
yang telah melakukan perbuatan-perbuatan yang mengancam
bahkan merugikan ketertiban mrasyarakat tentunya merupakan tempat
yang memberikan pengaruh buruk kepada penghuninya. Mereka
ditempa menjadi penghuni yang cocok untuk kehidupan yang buruk itu.
Timbullah sikap dari masyarakat yang tidak sehat yang melihat penjara
dan bekas nara pidananya sebagai yang selalu buruk, tidak lebih dari itu.
Hal ini sedikit banyaknya telah merupakan akibat dari tujuan
pidana penjara yang semula dijalankan belum atau kurang diwarnai oleh
upaya-upaya pembinaan. Selanjutnya usaha reklasering yang
sebenarnya adalah sejalan dengan pandangan hidup dan kepribadian
Bangsa Indonesia, akan tumbuh pesat dan mendapat dorongan jika saja
tujuan pidana penjara yang juga beranasir pembinaan itu telah dapat
difahami oleh setiap anggota masyarakat Indonesia dengan baik. Bahwa
usaha-usaha reklasering tersebut dapat dirubah dan diperkembangkan
dapat dilihat gambaran perbandingannya di negeri Belanda akhir-akhlr
ini, sebagai berikut: dalam usaha reklasering telah sampai pada
pemikiran, agar diwujudkan proses reklasering yang baru yang berbeda
dengan usaha-usaha yang dijalankan selama ini. Bantuan yang terutama
diberikan di bidang material (misalnya: pekerjaan perumahan, uang,
pakaian) akan diarahkan pula ke bidang immaterial secara lebih
terstruktur berupa pemberian bimbingan pada bekas nara pidana di
dalam konflik-konflik kemasyarakatan yang dihadapinya.43 Kiranya di 20
42 Ibid. hal. 356.
43 G.P. Snel: “Het reclasserings proces: van verleden naar toekomst” reclasering in de
ring, stichting Ars Aequi WEJ Tjeenk Willink, Zwolle, 19 74, hal. 67.
Pidana Penjara dalam Stelsel Pidana di Indonesia
15
Indonesia dapat dikembangkan usaha reklasering sejalan
dengan sikap yang semakin memahami tujuan pidana penjara yang
ditetapkan dan memberikan bersama dengan hal itu inti pengertian bagi
reklasering di Indonesia.
Selanjutnya berdasarkan uraian di atas, diajukan beberapa
permasalahan dan pendapat, yakni:
a) Pidana penjara masih diperlukan dalam stelsel pidana di
Indonesia;
b) Tujuan ata inti pidana penjara yang tegas, jelas dan sesuai
dengan rasa keadilan dan kesadaran hukum masyarakat di
dalam KUHP dan terutama dalam Hukum Penitensiernya
merupakan faktor yang paling besar pengaruhnya atas
pembentukan sikap masyarakat Indonesia terhadap nara pidana
dan bekas nara pidana;
c) Sistem Pemasyarakatan merupakan suatu bagian lanjutan dari
sistem kepenjaraan yang mengatur tentang cara pelaksanaan
pidana penjara di Indonesia, bukan untuk menggantikannya;
d) Masih merupakan pendapat umum bahwa bekas nara pidana
membawa pengaruh buruk bagi lingkungannya dalam
masyarakat;
e) Peran serta masyarakat untuk pembinaan nara pidana dan bekas
nara pidana sebanding dengan besar kecilnya pengertian atas
tujuan atau inti pidana penjara;
f) Kerja sama yang harmonis berdasarkan pemahaman atas tujuan
atau inti pidana penjara itu, antara penegak hukum, masyarakat
dan nara pidana, dapat mendorong penerimaan bekas nara
pidana secara wajar di tengah-tengah masyarakat.
g) Pembinaan bekas nara pidana bersamaan dengan usaha untuk
mempengaruhi dan menguasai keadaan yang dapat
menimbulkan kejahatan, merupakan inti reklasering Indonesia.
C. Kerangka dan Sistematika Penulisan
Kerangka dan sistematika disertasi ini saya susun berturutturut
dengan terlebih dahulu memaparkan hal-hal yang menjadi alasan
penulisan, permasalahan dan pendapat sebagaimana telah diuraikan di
atas, sehingga di dalam bagian akhir dari Bab. I ini, yang menjelaskan
secara ringkas tentang kerangka dan sistematika penulisan. Saya hanya
akan menunjukkan hubungan-hubungan Bab I ini kepada Bab-bab
selanjutnya dari disertasi ini.
Bab I: Pendahuluan
16
Mengingat permasalahan yang dihadapi dapat menjurus
kepada gagasan yang menginginkan digantinya pidana penjara sebagai
salah satu bentuk dari stelsel pidana yang berlaku ataukah ia tetap
dipakai hanya saja cara atau sistem pelaksanaannya yang ingin dirubah,
maka selanjutnya di dalam Bab II kita tidak dapat terlepas dari
bagaimana kiranya gambaran pendapat-pendapat tentang pidana penjara
itu sebagai salah satu jenis pidana yang umum dipakai di seluruh dunia
saat ini.
Perhatian kita arahkan ke benua Eropa, terutama negeri
Belanda mengingat berlakunya asas konkordansi44 dan dalam hubungan
di bidang hukum antara negeri Belanda dengan Indonesia (Hindia
Belanda) sebagai tanah jajahannya, juga ke Inggeris sebagai tempat asal
mulanya stelsel pidana penjara itu sendiri.45
Tonggak-tonggak perkembangan karakter hukum pidana
Belanda di sepanjang sejarahnya sejak tahun 1200 hingga berakhirnya
perang dunia II tahun 194546 akan banyak memberi gambaran-gambaran
dan menjelaskan dasar dasar pemikiran menyangkut permasalahan yang
kita sebutkan di atas. Di dalam Bab II ini pulalah akan kita lihat sejauh
mana usaha-usaha yang bersifat internasional diadakan untuk
menyelesaikan permasalahan perlakuan terhadap terpidana,47 dimana
Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) turut melibatkan dirinya.48
Bagaimana pula keadaan kita di Indonesia dewasa ini yang telah
menggunakan jenis pidana penjara tersebut sejak masa penjajahan
Belanda yang lalu, hingga akhirnya sebagai satu negara yang merdeka
yang menginginkan sekali segera terciptanya KUHP Nasionalnya.
44 Soediman Kartohadipirodjo, Pengantar tata hukum di Indonesia, cetakan. Ke-3,
PT.Pembangunan Jakarta, 1961, hal. 37-38: Kehendak ini merupakan asas politik hukum
pemerintah Belanda dahulu mengenai hukum yang berlaku bagi golongan Eropa (asas konkordarsi
= concordantie beginsel). Pembentuk ordonnansi dapat menyimpang dari syarat pokok tersebut
jikalau “keadaan istimwa di Indonesia (de bijzondere toestande in Indonesia) menghendakinya.
Bandingkan, Sudarto, Hukum Dan Hukum Pidana, Alumni, 1977 Bandung, hal. 56: memorie van
toelichting ini berlaku juga untuk WvS kita, karena WvS ini meneladani WvS Belanda tahun 1886
tersebut dengan penyimpangan yang disesuaikan dengan keadaan khas Hindia Belanda sebagai
negara jajahan dan juga karena keadaan masyarakatnya berlainan.
45 Rijkseirj, R, op. cit. hal. 14: De eerste vrijheidsbeneming als straf komt uit Engeland.
Sehubungan dengan hal ini lihat Koesnoeon: Politik Penjara Nasional, op. cit. hal. 7: Adanya
penjara karena adanya sistem pidana hilang kemerdekaan, sebelum ada pidana hilamg kemerdekaan
belum ada penjara.
46 Binsbergen, W.C. van: Inleiding strafrecht, W. E. J. Tjeenk Willink-Zwolle 1972, hal.
48, Mijlpalen.
47 G. Suyanto, op. cit. hal. 14: ... sehingga dibentuklah suatu komisi internasional pidana
dan pelaksanaan pidana (The International Penal and Penitentiary Commissions disingkat IPPC
dengan tugas mierencanakan dan menyusuri standard minimum Rules the treatment of prisoners,
yang akan dipergunakan untuk pedoman perlakuan terhadap si terpidana.
48 Ibid, hal. 15: ... maka pada Kongres PBB yang pertama tentang The Prevention of
Crime and the Treatment of Offenders pada tahun 1955 di Swiss, disahkan SMR tersebut.
Pidana Penjara dalam Stelsel Pidana di Indonesia
17
Dengan Bab III dan IV digambarkan bahwa kitapun sebagai negara
yang telah merdeka berusaha terus-menerus menyesuaikan KUHP yang
kita pakai sejak zaman penjajahan itu ke suasana alam kemerdekaan
kita, kepada pandangan hidup/jiwa serta kepribadian bangsa kita,
termasuk hal perlakuan kita terhadap terpidana.
Tujuan pidana penjara semasa penjajahan dahulu dirasakan
tidak sesuai lagi bagi kita. Kita mengacu pada sistem pemasyarakatan
untuk penggantinya,49 suatu sistem yang dirasakan sesuai bagi bangsa
kita yang sudah tentu pula tidak dapat terlepas sama sekali dari
pengaruh dunia luar, pengaruh aliran modern di bidang hukum pidana
pada saat ini.50
Berubahnya tujuan pidana penjara yang semula berwatakkan
penjajahan dan dirubah menjadi sesuai dengan pandangan hidup, jiwa
atau kepribadian bangsa Indonesia bukanlah merupakan hal yang mudah
dan sekali jadi. Ia menuntut adanya rentetan percobaan yang dengan
tangguh dan sabar yang harus terus diusahakan dan kesemuanya proses
ini, menurut hemat saya bersumbu pada sikap masyarakat kita di saat
ini.
Sikap masyarakat kita yang menjiwai pandangan hidupnya
sebagai suatu bangsa, bangsa Indonesia, keterampilannya, untuk
menyaring hal-hal yang baik dari luar51 merupakan mata pisau yang
tajam untuk mengupas permasalahan tujuan pidana penjara yang
dihadapi.
Selanjutnya di dalam Bab V. Bagaimanakah sikap masyarakat
kita dewasa ini terhadap nara pidana/eks nara pidana (penjara), sebagai
hasil suatu penelitian yang diadakan dalam rangka penyusunan disertasi
ini, akan kita peroleh gambarannya. Gambaran tersebut sekaligus akan
49 Ibid, hal. 18: ... dengan singkat tujuan pidana perjara ialah pemasyarakatan
50 Sudarto, op. cit. hal. 33: Pembicaraan mengenai aliran terakhir ini tidak bisa dilepaskan
dari dua nama, ialah Filippo Gramatica dan Marc Ancel, meskipun yang pertama-tama
merumuskan doktrin defence socials itu adalah A. Prins dari Belgia.
51 Rijksen, R., op. cit. hal. 11: Hoefnagels onderscheidt binnen de generale preventie de
afschrikwekkende werking, de normwerking en de vredemakende werking. Termasuk pula buah
pikiran dari Peters A. A. G. Hetrechtskarakter van het strafrecht - rede, 5 Juni 1972, diperbanyak
oleh Sub Konsorsium Ilmu Hukum dalam rangka Post Graduate Summercourse Hukum Pidana
Kriminologi di Fakultas Hukum Universltas Indonesia, Jakarta, 1974, hal. 5-9: De beide andere
geduide ontwikkelingen het steeds meer op de voorgrond komen van bescherming van de
maatschappij als doel van het strafrecht, en het toenemend in strumenteel gebruik van het strafrecht
ter effectuering van de nieuwe ordenings - en beleidsfuncties van de staat - hebben gewerkt in
dezelfde richting: instrumentalisering van het strafrecht: … niet welke beslissingen worden is
juridisch het belangrijkst, maar hoe beslissingen tot stand komen. Sebubungan dengani ini saya sitir
Sudarto, Hukum No. 2-1975 mengenai “Sampai berapa jauhkah urgensi KUHP Nasional”, sebagai
berikut: Kami hanya dapat mengatakan meskipun kita secepat mungkin harus melepaskan diri dari
WvS sekarang ini, namun kita tidak boleh begitu saja menggantinya dengan suatu KUHP yang
belum mendapat pembahasan secara mendalam dan secara luas terlebih dahulu.
Bab I: Pendahuluan
18
memberikan kepada kita dasar pemikiran yang lebih kuat atas
permasalahan: Benarkah masyarakat kita dewasa ini ingin
menggantikan stelsel pidana penjara itu dengan stelsel lain yang baru,
ataukah hanya cara pelaksanaannya saja yang ingin lebih disesuaikan
dengan pandangan hidup/jiwa, kepribadian bangsa Indonesia.
1. Apakah masih merupakan pendapat umum bahwa eks nara pidana
(penjara) membawa pengaruh buruk bagi lingkungannya dalam
masyarakat?
2. Benarkah kerjasama yang harmronis berdasarkan pemahaman atas
tujuan pidana penjara antara para penegak hukum masyarakat dan
terpidana sendiri, dapat mendorong penerimaan kembali eks nara
pidana (penjara) secara wajar di tengah-tengah masyarakat?
3. Benarkah bahwa peran serta masyarakat untuk pembinaan terpidana
sebanding dengan besar atau kecilnya pengertiannya atas tujuan
pidana penjara itu?
Kesemuanya hal yang akan diteliti itu akan memberikan hasilhasilnya
berupa gambaran kenyataan di tengah-tengah masyarakat yang
dapat merupakan argumentasi bagi beberapa pendapat dalam disertasi
ini.
Melalui kelima Bab terdahulu sampailah kita pada Bab VI yang
mempersoalkan bentuk terakhir perlakuan terhadap terpidana yakni
berupa upaya-upaya untuk membantu Mereka (reklasering) yang di
dalam dan oleh masyarakat kita seharusnya tumbuh secara rela dan
bertanggung jawab.
Jikalau usaha-usaha pembinaan nara pidana dalam penjara
(Lembaga Pemasyarakatan) telah diketahui dan dipahami benar-benar
secara jelas oleh masyarakat kita dan mereka dapat melihat
kenyataannya, hal itu akan mendorong masyarakat kita untuk (Merubah
sikapnya semula yang “tidak sehat” itu sehingga dengan rasa penuh
tanggung jawab akan turut menerima bekas nara pidana itu kembali
dalam masyarakat dam membantunya dengan baik Melalui Bab VII
tentang Analisa terpadu, akhlirnya di dalam Bab VIII diambil beberapa
kesimpulan dan saran.
Pengertian istilah “stelsel” yang penulis gunakan dalam
disertasi ini adalah suatu keseluruhan prinsip-prinsip atau aturan yang
harus dipakai sebagai pedoman tentang hal pidana.52 Tegasnya apa-apa
yang dalam pasal 10 KUHP Indonesia, merupakan suatu paket pidana
yang terdiri dari bermacam-macam jenis pidana. Selain itu pengertian
istilah “sistem” adalah cara pelaksanaan dari jenis pidana yang ada
52 Woyowasito, S., Kamus Umum Belanda-Indonesia, Penerbit Ichtiar Baru-Van Hoeve,
1978, Jakarta, hal. 631. Lihat pula selanjutnya footnote Bab III, no, 43.
Pidana Penjara dalam Stelsel Pidana di Indonesia
19
dalam stelsel pidana itu. Selanjutnya penelitian lapangan yang penulis
lakukan merupakan penopang bagi pendapat-pendapat yang diajukan
terutama berdasarkan penelitian kepustakaan. Mengingat salah satu
fungsi Pancasila yakni sebagai dasar negara yangi berarti sebagai
sumber dari segala sumber hukum yang berlaku di negara kita53 maka
pidana di Indonesia haruslah bersumber dan berdasar pada Pancasila.
Khusus mengenai pidana penjara sebagai salah satu jenis pidana
dalam stelsel pidana di Indonesia telah terungkaplah duduk
persoalannya dengan penulisan disertasi ini. Kesemuanya itu tidak akan
menghentikan kita untuk berbuat lebih banyak.
53 Team Pembinaan Penatar dan Bahan Penataran Pegawai Republik Indonesia. Edisi I
November 1978 Buku I Bahan Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, hal. 4.

No comments: